Bayangkan sebuah dunia di mana surga terakhir di Bumi hancur perlahan karena kerakusan manusia. Bayangkan Raja Ampat---laut biru sebening kristal, terumbu karang penuh warna, dan ribuan spesies langka terkubur dalam debu tambang. Bukan mimpi buruk fiksi. Ini adalah kenyataan yang sedang mengancam wilayah konservasi laut paling kaya di dunia. Dan yang lebih menyakitkan: ancaman itu datang dari dalam negeri sendiri.
Ketika Nikel Menggoda Dilema antara Energi Hijau dan Kerusakan Alam
Kita hidup di era transisi energi. Kendaraan listrik dipromosikan sebagai solusi masa depan, dan nikel menjadi komponen vital dalam baterainya. Indonesia, penghasil cadangan nikel terbesar dunia, mendadak menjadi bintang baru di peta ekonomi global. Tapi ada harga mahal di balik sorotan itu, dan Raja Ampat sedang ditawarkan sebagai tumbal.
Yang membingungkan, narasi "energi hijau" kini digunakan untuk membenarkan perusakan lingkungan. Seolah-olah demi menyelamatkan iklim dunia, kita sah-sah saja menghancurkan satu ekosistem laut terkaya yang pernah ada. Padahal, tambang nikel bukanlah industri yang bersih. Eksplorasi dan eksploitasi nikel membutuhkan pembukaan lahan besar-besaran, memicu deforestasi, erosi tanah, sedimentasi laut, dan mencemari perairan dengan limbah logam berat.
Data menunjukkan bahwa industri tambang menyumbang emisi karbon dalam jumlah besar. Tidak hanya dari operasional alat beratnya, tapi juga dari proses pengolahan dan pembakaran bahan bakar fosil. Ironisnya, kita menghancurkan habitat penyerap karbon alami seperti hutan mangrove dan padang lamun di Raja Ampat demi logam yang katanya menyelamatkan planet. Di sini letak paradoksnya: energi bersih yang lahir dari kehancuran lingkungan.
Raja Ampat Adalah Jantung Kehidupan Laut Dunia
Selama ini Raja Ampat terlalu sering dijual hanya sebagai destinasi wisata. Foto-fotonya viral di media sosial, promosi wisata mendunia, dan hotel-hotel terapung mulai bermunculan. Tapi, sedikit yang menyadari bahwa kekayaan Raja Ampat jauh lebih dalam dari itu. Ia adalah jantung dari segitiga terumbu karang dunia, pusat dari biodiversitas laut global, tempat kehidupan laut berkumpul, berkembang biak, dan berevolusi selama jutaan tahun.
Lebih dari 1.800 spesies ikan, 600 spesies terumbu karang, dan puluhan spesies laut endemik hidup di wilayah ini. Tak ada tempat lain di planet ini yang menyamai tingkat keanekaragaman hayatinya. Bahkan ilmuwan kelautan dunia menyebut Raja Ampat sebagai "Amazon-nya laut." Jika Amazon adalah paru-paru dunia, maka Raja Ampat adalah jantung lautnya.
Bukan cuma keindahan alam yang dipertaruhkan, tapi juga ketahanan pangan masyarakat pesisir, penelitian ilmiah global, hingga sistem penyeimbang iklim dunia. Terumbu karang di Raja Ampat berfungsi sebagai penangkal abrasi, tempat berkembang biak ikan konsumsi, hingga penyeimbang pH laut. Mengorbankan semua itu demi tambang nikel bukanlah sekadar pilihan bodoh, tapi kriminal terhadap masa depan.
Suara Masyarakat Adat dan Fakta Lapangan yang Sering Diabaikan