Mungkin kamu pernah ada di titik itu: saldo menipis, gaji belum turun, tapi keinginan beli barang idaman makin besar. Scroll aplikasi e-commerce sebentar, muncul tawaran "beli sekarang, bayar nanti" tanpa kartu kredit, tanpa ribet. Rasanya seperti jalan keluar. Tapi apakah itu benar solusi, atau justru jebakan yang dikemas rapi? Di sinilah kita perlu duduk sebentar, bukan untuk menyalahkan siapa pun, tapi untuk memahami kalau utang Paylater bisa mengubah cara kita melihat uang, membuat keputusan salah , Dan ironisnya  itu sering terjadi tanpa kita sadari.
Ekonomi Digital Mendorong Gaya Hidup Semu
Perkembangan ekonomi digital di Indonesia memang luar biasa. Transaksi online naik drastis dalam lima tahun terakhir. Menurut data Bank Indonesia, nilai transaksi e-commerce tahun 2023 mencapai lebih dari Rp 700 triliun. Tapi dari besarnya angka itu, tak sedikit yang dibayarkan lewat Paylater.
Apa artinya? Artinya, banyak dari kita yang berbelanja tanpa dana riil. Kita membeli sesuatu bukan karena sudah punya uangnya, tapi karena merasa bisa membayarnya nanti. Inilah yang disebut sebagai "konsumsi semu" kita tampak mampu, padahal belum tentu benar-benar bisa.
Sistem Paylater menciptakan pengalaman keuangan artifisial. Ketika proses pembelian begitu mudah dan nyaris tanpa hambatan psikologis, kita jadi tidak lagi reflektif dalam mengambil keputusan. Yang lebih mengkhawatirkan, fitur Paylater bahkan mulai ditawarkan di platform transportasi, makanan cepat saji, hingga pinjaman mikro harian. Ini menunjukkan bahwa utang makin merembes ke segala aspek kebutuhan dasar, bukan lagi sekadar untuk membeli gadget atau fashion.
Gengsi Digital dan Normalisasi Utang Harian
Di satu sisi, Paylater katanya adalah gaya hidup urban yang modern. Menggunakan fitur ini seolah menjadi bagian dari "gaya hidup cashless" yang dianggap keren. Tapi di balik itu, terjadi normalisasi utang harian yang sangat mengkhawatirkan.
Coba bayangkan, di media sosial, banyak konten influencer atau bahkan teman sebaya yang secara tidak langsung mempromosikan gaya hidup Paylater "Ini tips beli iPhone pake Paylater!" atau "Bayar hotel 5 juta cukup 300 ribuan sebulan, gampang banget." Secara tak sadar, kita dijejali narasi bahwa berutang untuk memenuhi lifestyle itu wajar.
Sosiolog Universitas Indonesia, Dr. Nurul Huda, bahkan menyebut bahwa masyarakat digital saat ini hidup dalam "lingkaran validasi instan" kita ingin diakui, ingin terlihat mapan, dan Paylater menjadi alat pembentuk citra itu. Ironisnya, citra ini dibangun dengan utang. Ini bukan cuma persoalan ekonomi, tapi juga sosial dan psikologis.
Lebih dalam lagi, budaya ini membentuk persepsi baru tentang kepemilikan. Kita jadi terbiasa merasa "punya sesuatu" padahal belum lunas. Padahal secara finansial, hak milik belum sepenuhnya menjadi milik kita. Dan ketika sudah banyak yang menganggap cara ini normal, kita berhenti mempertanyakan bahayanya.