Bayangkan kamu baru saja gajian, tapi uang itu hanya cukup untuk membayar tagihan listrik, cicilan motor, dan kebutuhan dapur selama satu minggu. Sisanya? Entah dari mana akan datang. Situasi seperti ini bukan cerita langka. Faktanya, jutaan orang di Indonesia merasakannya setiap hari. Dan inilah kenyataan ekonomi kita hari ini kita seperti berjalan di atas tali yang rapuh sambil menyeimbangkan beban hidup yang semakin berat.
Di tengah badai inflasi, ketidakpastian pekerjaan, dan ancaman resesi global, bertahan bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Namun, bertahan bukan sekadar mengencangkan ikat pinggang atau memangkas jajan kopi susu. Kita butuh cara berpikir baru, cara hidup baru, dan strategi yang tidak hanya reaktif tapi juga reflektif.Â
Gejolak Ekonomi Itu Nyata Tapi Kenapa Dampaknya Tidak Merata?
Satu hal yang jarang dibahas secara jujur adalah bagaimana dampak krisis ekonomi tidak dirasakan secara merata oleh semua kalangan. Bukan cuma soal siapa kaya dan siapa miskin, tapi soal siapa yang bisa beradaptasi dan siapa yang terjebak dalam sistem yang tidak berpihak.
Kamu bisa lihat sendiri, saat harga pangan melonjak, yang paling terdampak bukanlah pemilik restoran mewah, tapi pedagang kaki lima yang omzetnya langsung turun karena pelanggan berfikir ulang untuk membeli sesuatu. Ketika biaya pendidikan naik, yang paling kesulitan adalah keluarga buruh harian, bukan eksekutif muda yang bisa membayar kursus tambahan untuk anaknya. Ini bukan sekadar perbedaan kelas, tapi siapa yang kuat.
Sayangnya, sebagian besar kebijakan ekonomi masih berpijak pada pendekatan makro yang kurang menyentuh lapisan paling rentan. Padahal, di kalangan ini krisis paling terasa. Fakta dari data Badan Pusat Statistik lebih dari 40% penduduk Indonesia masuk dalam kategori menengah tetapi mereka berada di titik hanya sedikit di atas garis kemiskinan. Artinya, satu guncangan saja entah kehilangan pekerjaan, sakit mendadak, atau inflasi bulanan bisa langsung menghempas mereka jatuh ke bawah garis itu.
Itulah kenapa, sebelum bicara strategi bertahan, kita perlu memahami bahwa tidak semua orang memulai dari titik yang sama. Kesadaran ini penting untuk membangun strategi yang lebih inklusif dan relevan dengan realitas di lapangan.
Bertahan Bukan Cuma Tentang Uang
Dalam banyak pembicaraan soal krisis ekonomi, fokus utama selalu uang. Tidak dipungkiri uang memang penting. Tapi bertahan di tengah gejolak ekonomi tidak melulu soal seberapa banyak kamu punya di rekening. Yang lebih penting justru bagaimana kamu mempersepsikan perubahan dan mengambil keputusan di dalamnya.
Perubahan besar dalam ekonomi global maupun lokal bisa sangat memukul secara mental. Ketidakpastian membuat banyak orang kehilangan arah, dan tanpa pegangan psikologis yang kuat, mereka mudah menyerah. Inilah yang sering luput dibahas: kesehatan mental dalam menghadapi tekanan ekonomi.
Banyak riset terbaru mulai mengaitkan tekanan finansial dengan menurunnya produktivitas kerja, meningkatnya konflik keluarga, bahkan munculnya gejala depresi. Tapi kamu tidak harus jadi korban. Langkah awalnya bisa sesederhana memperbaiki pola pikir. Mengubah fokus dari "bagaimana bertahan hidup?" menjadi "apa yang bisa aku kendalikan hari ini?" bisa membawa perubahan besar dalam keputusan sehari-hari.
Kamu mungkin tidak bisa menghentikan inflasi, tapi kamu bisa mengatur pengeluaran secara sadar. Kamu mungkin belum bisa menambah penghasilan, tapi kamu bisa mulai belajar keahlian baru yang bisa jadi pintu ke peluang yang lebih besar. Dan, yang terpenting, kamu bisa mulai membangun kembali rutinitas dan harapan karena bertahan bukan hanya soal strategi, tapi juga tentang keyakinan bahwa masa depan masih bisa diupayakan.
Siapa yang Cepat Menyesuaikan, Dia yang Bertahan
Kalau kamu perhatikan, sebagian orang justru bisa bangkit saat krisis terjadi. Mereka yang dulunya pegawai kantoran kini jadi pelaku usaha daring. Ada yang beralih dari dunia event organizer ke jualan makanan rumahan lewat Instagram. Bukan karena mereka lebih pintar, tapi karena mereka lebih cepat membaca arah angin.
Adaptasi di era sekarang bukan hanya kemampuan, tapi kebutuhan. Dunia kerja berubah dengan cepat. Perusahaan mulai menggantikan sistem konvensional dengan otomatisasi dan kecerdasan buatan. Banyak pekerjaan hilang, tapi juga banyak jenis pekerjaan baru muncul mulai dari data analyst sampai konten kreator.
Kuncinya ada pada kemauan untuk terus belajar. Di tengah banjirnya informasi gratis di internet, akses terhadap pengetahuan jadi jauh lebih demokratis. Kamu tidak harus kuliah lagi untuk bisa menguasai digital marketing, desain grafis, atau bahkan dasar-dasar keuangan. Cukup dengan kemauan dan konsistensi, kamu bisa membekali diri dengan skill yang relevan di pasar kerja masa kini.
Di sinilah letak harapan baru yaitu kemampuan bertahan tidak lagi bergantung pada siapa yang punya modal besar, tapi siapa yang paling tangguh dan lincah beradaptasi.
Ekonomi Mikro Adalah  Kekuatan Kecil yang Sering Diremehkan
Selama ini, narasi besar soal perekonomian selalu berkisar pada pertumbuhan PDB, investasi asing, atau ekspor nasional. Tapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia justru bertumpu pada kekuatan mikro: warung kelontong, penjahit rumahan, pedagang online, dan layanan jasa lokal.
UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) menyumbang lebih dari 60% PDB Indonesia dan menyerap lebih dari 90% tenaga kerja. Namun ironisnya, dukungan sistemik terhadap mereka masih sangat terbatas. Banyak pelaku usaha kecil yang bahkan tidak memiliki akses ke pembiayaan formal atau perlindungan hukum yang memadai.
Padahal, jika dikelola dengan baik, sektor mikro bisa menjadi bantalan kuat saat krisis datang. Saat perusahaan besar melakukan PHK, UMKM bisa tetap berputar dengan skema yang lebih fleksibel. Saat pasar ekspor terhambat, pasar lokal bisa diselamatkan lewat jejaring mikro.
Kamu yang selama ini menganggap diri "hanya" pedagang kecil atau freelancer, sebenarnya sedang memegang peran penting dalam stabilitas ekonomi. Tantangannya sekarang adalah bagaimana membangun ekosistem mikro yang saling menguatkan bukan bersaing, tapi berkolaborasi. Digitalisasi, koperasi berbasis komunitas, hingga sistem barter digital bisa jadi terobosan baru untuk memperkuat ekonomi rakyat dari bawah.
Saat Krisis Menjadi Titik Balik untuk Bertahan
Bertahan memang penting. Tapi lebih dari itu, kita perlu mulai bicara soal bertumbuh di tengah krisis. Ini bukan soal optimisme kosong, tapi soal keberanian melihat krisis sebagai ruang pembelajaran.
Sejarah sudah membuktikan bahwa banyak inovasi lahir dari keterbatasan. Saat pandemi melanda, layanan telemedicine berkembang pesat karena keterbatasan akses rumah sakit. Ketika mobilitas dibatasi, e-commerce dan logistik digital tumbuh luar biasa. Bahkan sektor pendidikan menemukan momentum baru lewat platform pembelajaran daring.
Artinya, krisis membuka jalan baru jika kita mau melihatnya. Dan kamu bisa jadi bagian dari perubahan itu bukan hanya sebagai penonton, tapi pelaku.
Mulailah dari pertanyaan sederhana: apa yang bisa aku ubah hari ini? Bukan dalam skala besar, tapi dalam lingkup terkecil yang kamu kendalikan. Mungkin kamu bisa mulai mengatur ulang anggaran rumah tangga, berdiskusi soal keuangan dengan pasangan, atau belajar satu keterampilan baru setiap pekan.
Bertumbuh bukan berarti semuanya langsung membaik. Tapi itu berarti kamu terus bergerak, meski pelan. Dan dalam dunia yang penuh ketidakpastian, gerakan kecil yang konsisten bisa jauh lebih berarti daripada rencana besar yang tak pernah dijalankan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI