Bank Digital Tidak Sepenuhnya Bank Celah Regulasi yang Harus Kamu Tahu
Kebanyakan orang tidak sadar bahwa tidak semua bank digital punya status yang sama di mata hukum. Ada yang beroperasi di bawah naungan bank induk (misalnya bank digital milik bank konvensional besar), tapi ada juga yang status hukumnya masih fintech atau e-wallet yang baru mengajukan izin sebagai bank. Ini penting, karena perlindungan hukum terhadap uangmu sangat bergantung pada jenis institusi yang menyimpannya.
Jika bank digital tersebut hanya berizin sebagai lembaga fintech, maka dana kamu bisa jadi tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Jika terjadi kegagalan sistem atau kebangkrutan, risiko kerugiannya maka ditanggung sendiri oleh penggunanya. Ironisnya, banyak pengguna tidak membaca syarat dan ketentuan saat daftar pertama kali. Dan lebih parah lagi, tidak tahu apa yang dijamin dan apa yang tidak.
Kondisi ini diperparah oleh kecepatan inovasi teknologi yang jauh meninggalkan kecepatan regulasi. OJK dan BI memang terus mengembangkan sandbox regulasi, tapi masih banyak celah yang belum tertutup. Jadi, kamu sebagai pengguna seharusnya nggak hanya jadi konsumen pasif. Kamu butuh literasi dan terus belajar tentang digitalisasi keuangan, bahkan mungkin sedikit skeptisismeuntuk antisipasi.
Transaksi Digital Tumbuh, Tapi Ketimpangan Literasi Meningkat
Indonesia mencatat pertumbuhan luar biasa dalam transaksi digital. Data BI tahun 2024 menyebutkan bahwa nilai transaksi digital banking tembus Rp6.800 triliun, naik lebih dari 30% dibanding tahun sebelumnya. Tapi ironisnya, literasi keuangan dan literasi digital masyarakat belum naik secepat itu.
Sebuah survei oleh OJK pada 2023 mengungkapkan bahwa indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia baru mencapai 49,68%. Artinya, lebih dari separuh masyarakat kita belum benar-benar paham cara mengelola risiko dalam transaksi digital, termasuk memahami tanda-tanda scam atau cara melindungi data.
Bahkan banyak orang yang mengira bahwa keamanan hanya tanggung jawab bank. Padahal, keamanan adalah kerja dua arah. Bank menyediakan sistem, tapi pengguna wajib memahami cara memakainya dengan aman. Sama seperti kamu punya kunci rumah, tapi tetap harus sadar bahwa maling bisa menyamar jadi tamu.
Menuju Ekosistem Keuangan Digital yang Tangguh
Bank digital bukan musuh. Bahkan, kalau dikelola dengan baik, ini bisa jadi masa depan sistem keuangan yang lebih efisien, inklusif, dan progresif. Tapi itu semua akan sia-sia kalau tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas keamanan, baik dari sisi teknologi maupun budaya pengguna.
Diperlukan ekosistem yang mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan edukasi berkelanjutan. Misalnya, setiap bank digital wajib memberikan laporan keamanan bulanan ke nasabah, bukan hanya promosi cashback. Atau, pemerintah bisa mewajibkan sertifikasi keamanan siber berkala bagi bank digital dan aplikasinya. Bahkan, idealnya harus ada pelatihan literasi digital yang terintegrasi di kurikulum pendidikan, agar anak muda bisa lebih waspada sejak dini.