Pernahkah kamu merasa frustrasi saat mencoba menjelaskan sesuatu kepada seseorang, tetapi orang tersebut tetap bersikeras dengan keyakinannya, meskipun jelas-jelas salah? Kamu sudah menyajikan fakta, logika, bahkan bukti ilmiah, tetapi yang kamu hadapi hanya penolakan, kebingungan, atau bahkan serangan balik yang tidak masuk akal.
Kamu mungkin berpikir bahwa dengan menjelaskan lebih lanjut, mereka akhirnya akan memahami. Namun, yang terjadi justru sebaliknya mereka semakin menutup diri, semakin keras kepala, bahkan menyerangmu secara pribadi. Alih-alih menjadi diskusi yang sehat, percakapan tersebut berubah menjadi perdebatan yang melelahkan, tanpa arah, dan tidak membawa hasil apa pun.
Mengapa hal ini terjadi? Mengapa sebagian orang begitu sulit menerima kenyataan? Dan lebih penting lagi, apakah layak bagi kita untuk terus berdebat dengan mereka?
Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh informasi yang mudah diakses, perdebatan semakin sering terjadi, baik di dunia nyata maupun di media sosial. Namun, tidak semua perdebatan itu produktif. Beberapa di antaranya hanyalah perang ego, di mana tidak ada yang benar-benar mencari kebenaran hanya ingin menang.
Berpegang teguh pada keyakinan yang salah bukanlah sekadar masalah ketidaktahuan. Lebih dari itu, ini adalah cerminan dari bias kognitif, ego, dan kurangnya keterbukaan terhadap perspektif lain. Inilah yang menjadikan debat dengan orang bodoh sebagai sesuatu yang sia-sia.
Ketika Logika Tidak Lagi Berfungsi
Manusia adalah makhluk yang unik. Kita menganggap diri kita rasional, tetapi kenyataannya, banyak dari keputusan dan keyakinan kita dipengaruhi oleh emosi dan bias kognitif. Dalam konteks perdebatan, ada fenomena psikologis yang menjelaskan mengapa seseorang tetap berpegang teguh pada pendapatnya meskipun telah terbukti salah.
Salah satu fenomena tersebut adalah backfire effect. Ketika seseorang dihadapkan dengan bukti yang bertentangan dengan keyakinannya, alih-alih mengubah pandangan, mereka justru semakin teguh pada pendiriannya. Penelitian yang dilakukan oleh Brendan Nyhan dan Jason Reifler dari Dartmouth College menemukan bahwa semakin seseorang merasa terancam oleh informasi baru, semakin besar kemungkinan mereka menolaknya.
Ini terjadi karena menerima kenyataan yang bertentangan dengan keyakinan seseorang bisa menjadi ancaman bagi identitasnya. Misalnya, seseorang yang telah lama mempercayai teori konspirasi tentang vaksin akan merasa bahwa menerima fakta ilmiah berarti mengakui bahwa dirinya telah salah selama ini. Ini adalah sesuatu yang sulit diterima, karena berarti harus menghadapi kenyataan bahwa mereka telah hidup dalam kebohongan.
Bukan hanya itu, banyak orang juga terjebak dalam confirmation bias, yaitu kecenderungan untuk hanya menerima informasi yang mendukung keyakinan mereka dan mengabaikan fakta yang bertentangan. Di era media sosial, di mana algoritma memperkuat pandangan seseorang dengan hanya menampilkan informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka, confirmation bias semakin diperparah.