Mohon tunggu...
Franhky Wijaya
Franhky Wijaya Mohon Tunggu... Praktisi Perencanaan Properti

Setelah bertahun-tahun berkecimpung di dunia properti, saya merasa waktunya berbagi insight yang bisa berguna bagi sesama praktisi dan keluarga Indonesia. Fokus saya di bidang perencanaan, mulai dari pengembangan rumah tapak, ruko, pergudangan, hingga apartemen.

Selanjutnya

Tutup

Home Artikel Utama

Rumah Bukan Sekadar Dinding

31 Juli 2025   07:00 Diperbarui: 1 Agustus 2025   18:11 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. arsitag via kompas.com

Pagi itu, saya berdiri di pinggir taman kecil, memandangi seorang anak yang berlari riang sambil tertawa. Ibunya duduk santai di bangku taman, mengawasi sambil asyik dengan ponselnya. Tak jauh dari situ, dua pria setengah baya bercakap-cakap di bawah pohon ketapang yang rindang, sesekali terdengar tawa kecil mereka. Suasana pagi itu sunyi, namun bukan sepi, lebih tepatnya, terasa tenang.

Saya seperti lupa bahwa saya sedang berada di dalam sebuah kompleks perumahan. Ini terasa lebih seperti ruang hidup. Sebuah lingkungan yang hangat dan bernapas.

Beberapa tahun lalu, konsep "rumah" bagi saya sangat sederhana yaitu dinding kokoh, atap kuat, dan kunci ganda di pintu utama. Asal cukup luas dan tidak bocor saat hujan, itu sudah cukup. Namun, seiring waktu, saya menyadari bahwa rumah bukan hanya sekadar tempat berteduh. Rumah adalah kanvas tempat kita memulai dan mengakhiri setiap cerita dalam hidup. Ia adalah tempat kita menghela napas panjang sepulang kerja, tempat anak-anak belajar berjalan, tempat orang tua menua, bahkan terkadang menjadi tempat untuk menyembuhkan patah hati.

Kesadaran itulah yang mengubah cara pandang saya tentang arti sebenarnya dari sebuah tempat tinggal. Tempat tinggal bukan hanya tentang sosok bangunannya semata, melainkan bagaimana ia dirancang dan dipikirkan dari awal. Karena sesungguhnya, rumah bukan sekadar produk konstruksi. Ia seharusnya menjadi ekosistem bagi penghuninya.

Para pengembang properti yang "cerdas" memahami filosofi ini. Mereka tidak lagi hanya membicarakan soal luas tanah semata. Mereka kini fokus pada kualitas udara, tata cahaya, hingga ketersediaan jalur pejalan kaki yang nyaman. Namun, yang paling esensial adalah manusia yang akan menghuni kawasan itu, dan bagaimana mereka bisa hidup berdampingan.

Saya teringat saat pertama kali menginjakkan kaki di kawasan ini. Jalan masuknya sangat lebar, cukup untuk dua mobil berpapasan tanpa perlu saling menepi. Drainasenya bersih, tak ada bau tak sedap, dan tak ada genangan air, bahkan di musim hujan sekalipun. Di kanan kiri jalan, pohon-pohon sudah tumbuh tinggi dan rimbun, bukan sekadar bibit yang baru ditanam.

Saya sempat bertanya pada petugas marketing, "Kenapa sangat serius menata jalannya?"

Ia menjawab singkat, namun penuh makna, "Kami developer tidak menjual rumah. Kami membangun lingkungan."

Kalimat sederhana itu menggelitik pikiran saya. Lingkungan memang bukan hal yang bisa dibentuk dalam semalam. Namun, ketika dirancang dari awal dengan ruang hijau yang memadai, pencahayaan alami yang optimal, dan sistem air bersih yang terjamin, ia akan menciptakan kualitas hidup yang berbeda secara fundamental. Bayangkan, betapa jauh berbeda hidup di antara jalanan yang sempit, panas, dan semrawut, dibanding hidup dengan langit terbuka dan suara burung yang masih bisa terdengar merdu di pagi hari.

Namun, bukan hanya soal fisik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun