Warganet Garut diresahkan oleh penyebaran video tak pantas yang membawa nama Garut. Video tak pantas itu sudah viral di sosial media dua atau tiga hari ini, yakni di Twitter, Instagram, dan WhatsApp. Problem tersebut sudah sedang ditangani kepolisian. Video tak pantas itu dikenal warganet sebagi "Vina Garut".
Sekelompok muda-mudi - tiga dan empat orang - melakukan hubungan seksual bersama-sama dan merekam lalu mempostingkannya pada sosial media. Pada salah satu video terlihat dua orang pria melakukan hubungan seks dengan seorang wanita. Pada video lain, tiga orang pria berhubungan seks dengan seorang wanita. Video terebut beredar dengan cepat dan mudah di media sosial.
Nama "Garut" yang tertera pada tema video tersebut tentunya membuat warga Garut tercoreng. Penyebar dan pelaku adegan tak pantas itu sedang diselidiki kepolisian setempat. Lebih mendasar lagi karena kandungan video tersebut tak etis dan tentunya melanggar etika media sosial.
Video tersebut oleh sejumlah pengguna media sosial dinyatakan telah diperjual-belikan dengan sistem tukar-guling pulsa. Hal ini belum terlalu jelas, apakah tindakan tersebut dilakukan oleh penyebar pertama, atau oleh pembuat video, atau oleh pihak lain. Perkara ini kita tangguhkan hingga dituntaskan pihak berwajib.
Hal ini memberi kita suatu simbol. Simbol peradaban. Demam berita bohong sedang melanda masyarakat, utamanya pengguna media sosial. Lebih lanjut, perdagangan tubuh, entah langsung (prostitusi) atau tak langsung/bermedia seperti pemuasan hasrat melaui panggilan bervideo, sudah semakin marak. Ini perkara apa? Ini tentu perkara etika. Etika bukan etiket, tetapi di dalam etika terkandung etiket.
Pemahaman akan kebertubuhan (seksualitas) dan relasinya (seks) amat kurang. Apalagi pemaknaan dan penghayatan. Perkara ini memang kompleks, amat njelimet (rumit). Keluarga tentu basisnya. Sekolah dan lembaga agama lanjutannya. Ruang publik panggungnya. Orang tentunya melihat realitas dalam keseharian, entah langsung atau melalui media, namun tak banyak yang menyimak dan mempelajarinya, apalagi bagi kehidupannya. Terhadap ini, perlu penguatan dan penyadaran kembali banyak pihak.
Fenomena demikian menandakan krisis peradaban. Semua pihak perlu bertanya dan mencari jawabannya. Bertanya dan menjawab. Ada apa? Apa yang sedang terjadi? Lebih lagi, apa penyebab di balik semua itu?
Fenomena tersebut, satu dari yang mencuat di ruang publik, perlu diseriusi. Inikah peradaban kita?