Mohon tunggu...
Arah Waktu
Arah Waktu Mohon Tunggu... wiraswasta

Wiraswasta | Penggagas Ide | Pelaku Usaha Mandiri Berpengalaman mengembangkan usaha dari nol, berfokus pada solusi kreatif dan inovatif untuk kebutuhan sehari-hari. Percaya bahwa setiap tantangan adalah peluang untuk tumbuh.

Selanjutnya

Tutup

Book

Jika Agama Membuatmu Kejam, Kamu Salah Baca: Ulasan Reflektif Tentang Makna Sejati Iman

22 September 2025   21:52 Diperbarui: 22 September 2025   21:52 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah kamu melihat seseorang berteriak lantang soal agama, tapi justru membuat orang lain ketakutan? Atau mungkin, kamu sendiri pernah merasa terintimidasi hanya karena berbeda pendapat, berbeda cara berpakaian, atau berbeda cara mencintai? Pertanyaan-pertanyaan ini menghantui saya sebelum akhirnya menemukan buku Jika Agama Membuatmu Kejam, Kamu Salah Baca. Dari judulnya saja, buku ini sudah seperti cermin yang ditodongkan ke wajah kita: benarkah kita membaca agama dengan hati, atau sekadar dengan amarah?

Membuka halaman pertama, saya disambut kalimat yang menohok: "Atas nama Tuhan, kita sering terlalu kejam." Sebuah pengakuan yang sederhana, tapi menyayat. Betapa sering kita menjadikan agama sebagai tameng amarah, dalih untuk merasa paling benar, bahkan pembenaran untuk menyakiti orang lain. Padahal, kitab suci jelas mengingatkan: "Tidak ada paksaan dalam agama" (QS. Al-Baqarah: 256) dan "Tidaklah Kami mengutus engkau melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam" (QS. Al-Anbiya: 107). Ironinya, justru ayat-ayat ini sering terlupakan di tengah riuhnya orasi dan komentar pedas di media sosial.

Hook kedua hadir di benak saya saat membaca: mengapa agama yang seharusnya jadi cahaya, kini sering terasa seperti bayangan gelap? Data dari Pew Research 2021 mencatat lebih dari 60% konflik sosial modern punya dimensi keagamaan. Angka ini bukan berarti agama adalah sumber masalah, tapi cara sebagian orang menggunakannya. Analoginya seperti lilin yang seharusnya menerangi, tapi malah dipakai untuk membakar rumah tetangga. Api sama, tapi niat dan penggunaannya yang berbeda.

Semakin jauh saya menyelami buku ini, semakin jelas pesan utamanya: cinta itu mengajak, bukan menyeret. Penulis mengingatkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah berdakwah dengan intimidasi. Beliau dihina, dilempari, bahkan dilukai, namun yang beliau balas hanyalah doa. Bukankah ini paradoks? Di era modern, orang yang telat bayar zakat masih santai bisa dengan mudah mendoakan orang lain celaka. Saya merasa ditampar, karena tanpa sadar, kadang kita pun terjebak dalam sikap serupa.

Di titik ini saya mulai bertanya: apakah kita benar-benar sedang beribadah, atau hanya sibuk membangun citra "saleh"? Bukankah sering kita temui orang yang rajin beribadah, tapi sikapnya justru menyakitkan? Buku ini menyebut fenomena itu sebagai "ibadah rasa pamer"---amal yang tampak hebat, tapi kosong makna. Analogi yang digunakan begitu brilian: seperti sebuah rumah megah dengan lampu kristal di luar, tapi kosong melompong di dalam.

Sekitar pertengahan buku, saya kembali disadarkan oleh kalimat yang menelusup ke hati: "Kalau agama membuatmu marah, mungkin kamu salah baca." Refleksi ini semakin relevan ketika melihat media sosial, di mana perbedaan kecil bisa berujung hujatan massal. Apakah ini benar-benar panggilan iman, atau sekadar kompetisi siapa paling cepat menghakimi?

Hook ketiga muncul ketika saya mengingat data dari The Global Peace Index: negara dengan tingkat toleransi lebih tinggi cenderung lebih damai dan makmur. Bukankah ini bukti nyata bahwa kasih sayang jauh lebih kuat daripada kemarahan? Buku ini tidak sekadar menyajikan teori, tapi menghadirkan fakta sejarah: bagaimana Nabi memimpin dengan kelembutan, bagaimana para sahabat merangkul, bukan mengusir.

Membaca buku ini terasa seperti perjalanan batin. Dari awal yang penuh pertanyaan, lalu terhentak oleh kenyataan pahit, hingga perlahan dituntun menuju kesadaran baru. Saya menemukan bahwa agama seharusnya membebaskan, bukan mengikat dengan ketakutan. Iman bukanlah palu godam, melainkan pelukan yang membuat orang merasa aman.

Di halaman-halaman terakhir, penulis menutup dengan harapan sederhana namun kuat: "Agama adalah cahaya, bukan bayangan gelap. Jika kamu merasa terganggu membaca buku ini, tenang, artinya kamu sedang diajak berpikir ulang." Saya pribadi merasa terganggu---dalam arti positif. Buku ini membuat saya melihat kembali cara saya beragama, cara saya berbicara, dan cara saya memperlakukan orang lain.

Kini, setiap kali ingin marah atas nama agama, saya teringat satu hal: Allah itu Maha Penyayang, lalu siapa saya berani begitu kejam? Pertanyaan ini menjadi jangkar baru dalam hati saya.

Jika Agama Membuatmu Kejam, Kamu Salah Baca bukan hanya buku, tapi juga alarm lembut yang mengingatkan kita agar tak tersesat dalam interpretasi sempit. Buku ini layak dimiliki siapa saja yang ingin menjadikan iman sebagai sumber ketenangan, bukan ketakutan.

Dan mungkin, kamu pun perlu membacanya sekarang, sebelum terlambat. Karena bisa jadi, kita semua pernah salah baca. Jangan biarkan cahaya imanmu berubah jadi bayangan gelap.

Baca dan miliki bukunya di toko buku terdekat atau melalui link pembelian online [di sini].

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun