Mohon tunggu...
Fradj Ledjab
Fradj Ledjab Mohon Tunggu... Guru - Peziarah

Coretan Dinding Sang Peziarah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Miliki Harapan (Sebuah Refleksi)

7 Mei 2021   16:40 Diperbarui: 7 Mei 2021   16:44 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Harapan. Merdeka.com

Fradj Ledjab, HHK

Ketika suatu saat anda sedang merasakan dahaga yang luar biasa, lalu anda masuk ke ruang makan dan ternyata anda hanya mendapatkan bahwa air minum tinggal secuil di dasar tempat minum anda dan tidak ada stock air di kulkas/gallon. Apa yang anda katakan saat itu?

Kita sering diperhadapkan dengan pertanyaan dan pilihan akan tawaran dunia model sekarang. Realita hidup ini penuh dengan dilematika, mau maju atau mundur? Kiri atau kanan? Semua pilihan penuh dengan konsekuensinya. Dan lagi kita selalu dihadapkan dengan keadaan hidup terutama bangsa dan Negara ini yang tak kunjung henti dari segala problema, baik politik maupun social kemasyarakatan mulai dari yang namanya korupsi yang seakan-akan menjadi begitu membudaya, politik uang manakala bergulirnya pesta demokrasi yang tidak pernah putus akar persoalannya, pelecehan seksual dan pemerkosaan, bencana alam, pembunuhan, intimidasi, penindasan, kebebasan beragama seakan terkekang, dan masih begitu banyak problem kemanusiaan lainnya. Menghadapi situasi yang penuh gejolak itu, kita tentu prihatin sebagai anak-anak yang lahir di tanah ini, anak-anak yang cinta dan memiliki kepedulian terhadap negerinya, tanah air Indonesia. Kadang-kadang terlintas pertanyaan, ada apa dengan negeri ini? Apakah ini hukuman, atau apa?

Prinsip realitas

Inilah realitas kehidupan saat ini. Realitas ini kemudian mendorong kita agar supaya bisa punya prinsip . prinsip realitas. Prinsip itu mendahului pemikiran, sikap, pandangan dan keputusan. Ada kata "principe" atau "prince/princess" yang menunjuk pada posisi pertama dalam suatu jenjang karir sebelum posisi final sebagai raja/"re" atau "regina". Ketika seorang raja memanggil salah seorang bawahannya berarti yang dipanggil mendekati yang utama. Bila yang utama itu adalah cinta, maka panggilan cinta berarti panggilan untuk berada di dekatnya. 

Prinsip realitas kiranya merupakan pengedepanan kenyataan ada (being) lebih daripada konsekuensinya. Namun, itu tak mungkin dipisahkan. Ada dikenal dari konsekuensinya (baca: yang mengikutinya). Nah, di sinilah pentingnya prinsip realitas yang menempatkan ada (being) sebelum segala pemikiran, sikap, pandangan dan keputusan kita. 

Menghapus atau membuang prinsip realitas hanya akan jatuh pada sebuah pendangkalan dalam segala aspeknya. Prinsip realitas mengakui pentingnya ada kita yang nilainya melampaui milik, bakat, kepandaian, kekuasaan, keberhasilan, kekayaan bahkan melampaui kepercayaan kita. Jadi prinsip realitas mendahului keyakinan, tetapi tak bisa dipisahkan. Bukankah menerima prinsip realitas sendiri mengandaikan keyakinan atas prinsip itu sendiri? Tetapi, tanpa mulai dari yang nyata bagaimana keyakinan memiliki awalnya? 

Bagaimana perikoresis antara keyakinan dan kenyataan dipahami? Di satu pihak, kita butuh imajinasi, di lain pihak kita butuh intervensi dari luar diri. "Ada dua jalan: jalan kehidupan dan jalan kematian. Perbedaan di antaranya sangatlah besar. Inilah jalan kehidupan: lebih utama dari segalanya adalah mencintai Allah yang menciptakanmu, lalu mencintai sesamamu seperti dirimu sendiri; apa yang ingin tidak ingin terjadi padamu, janganlah perbuat pada orang lain." (Didache, I:1-2). Keprihatinan sebagai anak-anak bangsa adalah keprihatinan Gereja. Kita berada pada situasi yang ditandai oleh kegelapan, sehingga nilai-nilai moral dan etika memudar bahkan mati tak berdaya, dan oleh kematian yang ditandai dengan hilangnya rasa hormat akan hidup dan martabat manusia (KWI, surat Gembala Paskah 2011, art 3.4c) 

Oleh karena itu kita dipanggil untuk memiliki kepedulian dan keprihatinan akan masa "gelap" negeri ini. Ketika kita melihat dan mendapatkan air minum kita tinggal secuil di dasar gelas dan mulai mengumpat, mengomel, maka secara tidak sadar kita masuk dalam kegelapan situasi karena hanya melihat isi gelas itu. Kegelapan situasi itu membawa kita untuk tergolong dalam mereka yang psimistis. Akan berbeda dengan saat kita melihat air minum yang tinggal secuil di dasar gelas itu dan mensyukuri bahwa ternyata masih ada air, maka kita tidak berhenti pada isi gelas itu tetapi akan merasakan betapa berharganya isi gelas itu. Situasi demikian membawa kita pada sebuah cara pandang yang berbeda, bukan lagi melihat isinya tetapi melihat manfaatnya. Inilah situasi yang optimistis.

Alam cita dan sarana

"Manusia mempunyai alam cita. Karena itulah dia bukan binatang.... Semua benda di dunia ini hanyalah alat untuk melaksanakan alam cita. Dan badan manusia pun alat. Kemerdekaan... hanya alat ...supaya manusia yang memperjuangkan ini lebih bebas mempergunakan hidupnya sendiri..." (Pramoedya Ananta Toer dalam "Mereka yang dilumpuhkan"). Bacaan itu mengingatkan pada Azas dan Dasar atau "Principle and Foundation" dalam Spiritual Exercises yang ditulis St. Ignasius dari Loyola: "Manusia diciptakan untuk memuji dan menghormati dan mengabdi Allah Tuhan kita, dan dengan itu menyelamatkan jiwanya. Ciptaan lain di atas permukaan bumi diciptakan bagi manusia, untuk menolongnya dalam mengejar tujuan ia diciptakan." Ada tujuan dan ada sarana. Manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan. Di sini terletak keunikan manusia: mampu membuat pilihan demi tujuan hidupnya, bukan hanya sekedar mengikuti insting dan perasaan belaka, tetapi dengan melewati pertimbangan budi; bukan sekedar logika kaku saja, tetapi dengen melewati penegasan batin. Lalu setiap keputusan menjadi berarti. Setiap kegagalan pelaksanaan selalu tidak pernah menghancurkan nurani. Kegagalan merupakan kesempatan untuk berjuang lagi menjadi manusia yang merdeka dalam mengikuti nurani.

Gereja memanggil putra-putrinya sebagai sebuah panggilan yang optimistik. Panggilan optimistik adalah panggilan menuju kepada pengharapan. Kita putra-putri Gereja adalah sebuah komunitas. Komunitas kita adalah komunitas yang berpengharapan karena berjalan dalam terang Injil Kristus yang merupakan Jalan, Terang dan Hidup yang penuh pengharapan. Dalam terang Injil itu pula kita bekerja dan terlibat secara aktif dalam mewujudkan kesejahteraan hidup bersama (bonnum commune). Kita bersyukur bahwa Tuhan menganugerahkan pelita iman kepada kita untuk menjadi terang bagi bangsa-bagsa (Yes 46:6). Membawa terang berarti membawa penyembuhan bagi bangsa ini yang selalu sakit. Untuk sampai ke sana kita terlebih dahulu menyembuhkan habitus kita sendiri untuk menjadi orang-orang yang memiliki kualitas diri yang merupakan ciri khas pengikut Kristus yang selalu berjuang dan menentukan pola hidup sebagai saksi kehidupan. Kualitas hidup ini menjadikan kita disukai banyak orang sebagaimana Jemaat Perdana karena menjadi pembawa kesukaan dan kebaikan (JGD hal.10)

Kita adalah orang-orang yang selalu memiliki harapan karena percaya dan cinta. Dalam pengharapan itu kita mampu untuk melihat Kerajaan Allah yang datang dan membawa kita kepada proses untuk mengubah hidup menjadi lebih baik. Tidak ada kata terlambat, atau sia-sia. Selalu ada jalan keluar untuk meretas problema. Itulah visi kemuridan yang melahirkan iman penuh keberanian untuk bergulat, mau direndahkan, bahkan untuk "dimatikan" karena percaya bahwa itulah yang akan membawa kesuburan hidup. Kita ditantang untuk hidup dalam pengosongan diri Kristus yang menjadikan hidup kita dalam kemerdekaan yang tidak tunduk kepada ketakutan, kekerasan, dan permusuhan (JGD hal.12). Kita adalah Alter Kristus, Immanuel yang bergerak menegakkan keadilan dan kebenaran, hingga menjadikan hukum itu menang. Hukum yang menegakkan kembali keadaban publik yang kian porak poranda oleh kemunafikan, egoisme, kerakusakan, ketamakan, serta penyakit social lainnya. Kita percaya karena kita dipanggil untuk menjadi orang-orang yang optimistis bukan psimistis. Kita yakin karena selalu ada harapan dibalik semua peristiwa walau gelap sekalipun karena dalam kegelapan itu kita mampu menangkap setitik cahaya yang dapat membawa kita keluar dari kegelapan itu. Itulah cara pandang yang berbeda karena memang kita ini adalah orang-orang yang berpengharapan.

Kegembiraan Diri

"Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya." (Masmur 126:5-6). Bekerja itu memberikan diri bukan bagi diri sendiri saja, tetapi terlebih bagi Tuhan dan orang lain yang kita layani, entah orangtua, entah anak, entah teman, entah mereka yang tak dikenal. Misterinya ini: semakin kita memberi, semakin kegembiraan batin itu mengalir sendiri. Tak pernah berkurang diri yang diberikan ini. Malahan semakin terasa berarti. Inikah kebahagian sejati? Setelah orang mati, apalagi yang bisa diberi? Setelah orang tak bernyawa lagi, apalagi yang akan dicari?

Magna Anima (jiwa besar)

Realitas hidup menuntut agar kita memilki jiwa besar (Magna Anima). Jiwa besar itu kesiapan diri menghadapi tantangan dan perutusan karena berpengharapan pada Dia yang melampaui segala. Jiwa besar itu keberanian melihat kelemahan dan mengakuinya, tanpa harus berbahasa pura-pura di hadapanNya. Jiwa besar itu berarti transparan berada bersamaNya. Jiwa besar itu tidak malu melihat kenyataan diri yang sering jauh dari ideal sebagai manusia. Jiwa besar itu bersikap mau melangkah mengiya kebenaran meski lelah dan serasa mau menyerah kalah oleh perasaan lemah. "In ipso vivimus, movemur et sumus" (Dalam Tuhan kita hidup, bergerak dan ada).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun