Di sudut sunyi Kabupaten Jember, tepatnya di Desa Pondokdalem, Kecamatan Semboro, hidup sekelompok tangan yang menolak dilupakan. Tangan-tangan itu tidak bersuara, namun dentang palu dan percikan api yang mereka lahirkan telah bicara lebih lama dari usia demokrasi.
Mereka tak menyebut diri mereka pahlawan. Tapi sejak subuh hingga senja, besi dan bara menjadi bahasa sehari-hari. Di sana, logam diasuh dengan sabar, dibentuk, dipanaskan, ditarik napasnya hingga menyerupai celurit, parang, pisau, bahkan tombak kecil.
Inilah kisah yang ditangkap oleh mata kamera Dian Pandu Indra Satria, atau yang akrab disapa Pandu. Sosok pria berusia 42 tahun yang tak hanya menjadi reporter, tapi juga kameramen dan pilot drone dalam satu waktu. Dengan kamera DJI Action 3 di tangan dan drone DJI Mini 3 di udara, ia menyusuri titik-titik bara di Desa Pondokdalem yang tak tercatat dalam peta wisata tapi menyimpan warisan keterampilan yang nyaris langka.
Dari Bengkel ke Balai Sejarah Tak Tertulis
Pandu menyusuri lorong-lorong rumah yang sederhana namun penuh suara khas: logam yang dibentur, besi yang digosok, dan peluh yang menguap bersama asap arang. Salah satu yang ia temui adalah Pak Miski, lelaki tangguh dari Dusun Jatian. Ia bukan pengrajin biasa. Ia adalah penjaga nyala. Ia adalah perajin senjata tajam yang telah melayani pesanan dari Jember hingga Kalimantan.
"Kalau celurit seperti ini," ujar Pak Miski sambil menimbang sebilah yang baru diasah, "perlu waktu, tenaga, dan niat. Bukan sekadar bentuk, tapi juga martabat."
Di tangannya, logam bukan benda mati. Ia adalah makhluk hidup yang harus dijinakkan dengan panas yang tepat dan palu yang sabar. Dalam pandangan ilmiah, proses ini disebut tempering dan quenching --- dua metode penguatan logam melalui panas dan pendinginan mendadak. Tapi bagi para pandai besi seperti Pak Miski, itu cukup disebut "diolah dengan perasaan."
Potensi Ekonomi Lokal yang Mengakar
Menurut catatan visual yang diabadikan Pandu, setiap produk buatan tangan bisa dihargai mulai dari Rp100.000 hingga Rp350.000 --- tergantung ukuran dan bahan. Tak sedikit pesanan yang datang bukan hanya dari petani sekitar, tetapi juga dari pemesan di Lampung, Sumatera, dan Kalimantan. Artinya, hasil karya ini bukan sekadar kelengkapan bertani, tapi sudah menjadi komoditas antarpulau.
Namun, potensi ini belum sepenuhnya tersentuh oleh intervensi modern. Pemasaran masih dilakukan secara tradisional, branding belum dibangun, dan platform digital belum terjamah. Desa ini menyimpan emas dalam bara, namun belum mendapat senter yang cukup terang.