Mohon tunggu...
Florensia Rosalina Musanto
Florensia Rosalina Musanto Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Palangka Raya

Mata Kuliah Teori Ekonomi Makro II

Selanjutnya

Tutup

Financial

Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia Tembus Rp7.000 Triliun, Haruskah Kita Panik?

24 September 2025   16:15 Diperbarui: 24 September 2025   17:58 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Juli 2025, Utang Luar Negeri RI Turun Jadi USD 432,5 M. Sumber: CNBC Indonesia, 2025. Diakses melalui: https://youtu.be/bj64qMeb6TI?si=DF4jWwrVx3_Dt6op

Saat mendengar kabar bahwa utang luar negeri Indonesia per Juli 2025 sudah tembus USD 432,5 Miliar atau setara Rp7.000 triliun, reaksi spontan banyak orang pasti: "Waduh, negara kita bangkrut nih!". Angka ribuan Triliun memang membuat pusing, apalagi kalau kita bandingkan dengan gaji bulanan yang mungkin belum sampai dua digit. Bagi kebanyakan orang yang penghasilannya hanya setara UMR Rp3-4 juta, jumlah segitu terasa tidak masuk akal, bahkan mustahil untuk dibayangkan. Tapi benarkah utang sebesar itu berarti bahaya?

Utang Itu Bukan Selalu Buruk

Di kehidupan sehari-sehari, adapun dari kita yang berutang entah lewat cicilan motor, KPR rumah, atau pinjaman modal usaha, ini sama halnya dengan negara kita. Bedanya, skala utang negara bisa mencapai ribuan triliun. Nah, Utang Luar Negeri (ULN) inilah yang dipakai pemerintah untuk membiayai pembangunan: seperti membuat jalan tol, membangun pelabuhan, memasang listrik desa, hingga membiayai pendidikan.

Jadi sebenarnya, utang bukanlah musuh dan sesuatu yang selalu buruk. Justru utang bisa jadi "teman" pertumbuhan, asal dikelola dengan benar. Masalah baru akan muncul kalau utang dipakai hanya untuk menutup defisit belanja konsumtif, yaitu pengeluaran rutin yang habis begitu saja tanpa menghasilkan sesuatu yang produktif bagi pertumbuhan ekonomi.

Utang Rp7.000 Triliun: Besar, Tapi Masih Aman 

Angka Rp7.000 Triliun memang bikin kaget, tapi para ekonom biasanya tidak hanya melihat nominal, melainkan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Menurut data resmi Bank Indonesia, rasio utang luar negeri terhadap PDB pada Triwulan II 2025 tercatat 30,5 %, lebih rendah dari sebelumnya. ULN juga dominan utang jangka panjang, menunjukkan pengelolaan yang lebih stabil. Menteri Keuangan kita sebelumnya yaitu Sri Mulyani bahkan menyebutkan rasio utang publik Indonesia sekitar 39,96 % dari PDB dan 'terjaga rendah'. Dengan data ini, posisi utang luar negeri sebesar Rp7.000 triliun bisa dinilai besar secara nominal, tetapi relatif aman bila dibanding kapasitas ekonomi nasional.

Menkeu Sri Mulyani Sebut Rasio Utang Negara Masih Aman, Ekonom Peringatkan Hal Ini!. KompasTV, 2025. Diakses melalui: https://youtu.be/m_OLymrkjpc?si=luCqA-Q_ceNM6H1D

Risiko yang Patut Diwaspadai

Meski rasio ULN Indonesia masih aman, tetap ada risiko yang perlu dipantau. Jika rupiah melemah, cicilan utang luar negeri dalam dolar akan terasa jauh lebih berat. Begitu pula ketika suku bunga global naik, biaya utang baru jadi makin mahal. Yang paling krusial, utang luar negeri harus dipakai untuk hal produktif bukan sekadar menutup defisit konsumtif, agar bisa menghasilkan pertumbuhan dan menambah devisa untuk membayar kembali utang itu sendiri.

Panik? Tidak. Waspada? Wajib.

Jadi apakah kita sebagai warga negara harus panik? Jawabannya yaitu tidak perlu panik, tapi tetap harus waspada. Utang negara hanyalah alat, jika dipakai untuk membangun fondasi ekonomi jangka panjang yang hasilnya bisa menyejahterakan rakyat. Tetapi jika disalahgunakan, bisa menjadi beban yang diwariskan ke anak cucu kita di masa yang akan datang nanti.

Bukan Besarnya, Tapi Cara Mengelolanya

Utang luar negeri sebesar Rp7.000 triliun memang terdengar bombastis, tapi jangan buru-buru menganggap Indonesia bangkrut. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana cara mengelola utang itu agar menghasilkan manfaat nyata bagi rakyat.

Jadi, mari tetap kritis mengawasi kebijakan pemerintah, dan jangan terburu-buru panik. Karena pada akhirnya, yang menentukan apakah utang itu "berkah" atau "musibah" bukanlah pada angkanya, melainkan pada cara menggunakannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun