Saat membicarakan sejarah kemerdekaan Indonesia, nama-nama seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir biasanya mendominasi ingatan kita. Namun, ada satu tokoh yang tak kalah penting meski sering terpinggirkan dari sorotan publik, yaitu Achmad Soebardjo. Beliau bukan hanya Menteri Luar Negeri pertama, tetapi juga sosok diplomat ulung dan Pancasilais sejati yang selalu menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya.
Awal Kehidupan dan Pendidikan
Achmad Soebardjo lahir pada 23 Maret 1896 di Teluk Jambe, Karawang. Ia tumbuh dari keluarga dengan latar belakang yang beragam: ayahnya, Teuku Muhammad Yusuf, berasal dari keturunan bangsawan Aceh, sedangkan ibunya, Wardinah, berdarah Jawa-Bugis. Nama kecilnya adalah Teuku Abdul Manaf, namun kemudian diganti menjadi Achmad Soebardjo, dengan tambahan nama Djojoadisoerjo ketika ia dewasa setelah mengalami masa sulit di penjara akibat dinamika politik pasca-kemerdekaan.
Sejak kecil, ia dibiasakan hidup disiplin dan penuh nilai kebangsaan. Setelah menempuh pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS), ia melanjutkan ke HBS Koning Willem III di Batavia. Cita-citanya membawanya ke Belanda, di mana ia berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) dari Universitas Leiden pada tahun 1933. Di negeri kincir angin itulah ia aktif dalam organisasi mahasiswa, seperti Jong Java dan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia. Aktivitas ini bukan hanya memperkaya pengetahuannya, tetapi juga menumbuhkan kesadaran bahwa kemerdekaan harus diperjuangkan dengan martabat dan keberanian.
Penengah di Peristiwa Rengasdengklok
Salah satu peristiwa yang paling mengukuhkan nama Achmad Soebardjo adalah Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Ketika golongan muda mendesak proklamasi segera dilaksanakan, sementara golongan tua cenderung menunggu waktu yang lebih tepat, ketegangan hampir memecah belah perjuangan. Di tengah situasi tersebut, Soebardjo tampil sebagai mediator.
Ia memilih jalan musyawarah untuk meredakan konflik. Dengan penuh keyakinan ia berkata: "Jaminan saya adalah nyawa saya." Kalimat itu bukan sekadar kata-kata, tetapi janji seorang patriot yang berani mempertaruhkan hidupnya demi persatuan bangsa. Berkat peran pentingnya, Soekarno dan Hatta akhirnya kembali ke Jakarta, dan keesokan harinya proklamasi kemerdekaan berhasil dikumandangkan.
Peran dalam Merumuskan Dasar Negara
Selain terlibat dalam detik-detik proklamasi, Soebardjo juga menjadi bagian dari BPUPKI dan Panitia Sembilan. Dalam sidang, ia menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa begitu saja menyalin konstitusi negara lain, sebab setiap bangsa memiliki falsafah hidup yang unik. Pemikiran visioner inilah yang kemudian menjadi acuan dalam menyusun dasar negara Indonesia.
Gagasannya terlihat jelas dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya kalimat: "Bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan." Dengan kontribusinya, Soebardjo ikut memastikan bahwa konstitusi Indonesia bukan hanya produk hukum, melainkan cerminan dari cita-cita luhur bangsa.
Teladan Seorang Pancasilais