Mohon tunggu...
Fitri Ramadhani
Fitri Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa PGMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

NIM 22104080010 Menulis adalah bentuk perlawananku—pada sunyi yang membelenggu, Pada ketidak adilan yang membisu.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Negara Masih Bungkam: Kekerasan Seksual dalam Tragedi Mei 1998 Masih Jadi Luka Terbuka

19 Juni 2025   17:45 Diperbarui: 19 Juni 2025   17:45 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar visual 

Yogyakarta-Sudah lebih dari dua dekade berlalu sejak reformasi bergulir di Indonesia, namun ada bagian dari sejarah itu yang hingga kini masih diselubungi kabut ketidakadilan: kekerasan seksual terhadap perempuan dalam tragedi Mei 1998. Salah satu suara paling lantang yang terus menyuarakan isu ini adalah aktivis perempuan dan kemanusiaan Ita Fatia Nadia. Dalam wawancaranya dengan BBC News Indonesia pada 14 Mei 2024, Fatia mengatakan bahwa selama 26 tahun, kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia, khususnya pada peristiwa Mei 1998, tidak pernah benar-benar diperbincangkan secara terbuka oleh negara. Sebaliknya, isu ini justru disangkal dan dibiarkan mengendap dalam sunyi.

Fakta Lapangan: Korban yang Terlupakan

Setidaknya terdapat 85 korban perempuan yang tercatat menjadi sasaran kekerasan seksual selama kerusuhan Mei 1998. Sebagian besar dari mereka berasal dari etnis Tionghoa. Namun berbagai laporan investigatif dan pengakuan dari aktivis HAM menyatakan bahwa jumlah sebenarnya kemungkinan jauh lebih besar. Banyak korban tidak berani melapor karena trauma, stigma sosial, hingga ketakutan terhadap ancaman balasan.

Dalam chaos politik dan sosial saat itu, perempuan menjadi sasaran kekerasan berbasis gender. Pemerkosaan, pelecehan, penganiayaan fisik, dan kekerasan seksual lainnya terjadi dalam skala yang mengejutkan. Tubuh perempuan dijadikan alat untuk menyampaikan pesan kekuasaan dan dominasi. Mereka dipermalukan, dibisukan, dan dijadikan korban oleh para pelaku yang hingga kini masih belum tersentuh hukum. Kekerasan ini terjadi selama rentang waktu kerusuhan Mei 1998, tepatnya antara 12 hingga 14 Mei 1998, di berbagai titik panas kerusuhan. Jakarta menjadi episentrum, namun beberapa kota besar seperti Medan, Surabaya, dan Solo juga mengalami insiden serupa. Korbannya adalah perempuan, terutama dari komunitas Tionghoa-Indonesia. Mereka diserang di rumah mereka sendiri, di jalanan, bahkan di tempat umum. Usia mereka bervariasi, mulai dari remaja hingga perempuan lanjut usia. Beberapa bahkan menjadi korban pembunuhan setelah mengalami kekerasan seksual. Kekerasan seksual ini bukan hanya perbuatan kriminal, melainkan juga bentuk kekerasan sistemik dan terencana. Dalam konteks kerusuhan, perempuan dijadikan simbol yang dimanfaatkan untuk mengekspresikan amarah kolektif terhadap kelompok etnis tertentu, dengan alasan ekonomi, sosial, dan politik. Sejauh ini, negara belum menunjukkan langkah konkret dalam memberikan keadilan kepada korban. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pasca kerusuhan memang menyelidiki kasus ini, namun hasil temuan mereka tidak pernah ditindaklanjuti secara hukum. Tidak ada pelaku yang diadili. Tidak ada pemulihan menyeluruh bagi korban. Saat ini adalah momentum krusial. Dengan semakin banyak generasi muda yang kritis dan melek isu, penting untuk mengangkat kembali suara korban. Kekerasan seksual dalam sejarah Indonesia tidak boleh dibiarkan hilang dari ingatan. Fakta harus diakui. Pelaku harus dimintai pertanggungjawaban. Korban harus dipulihkan.

Tiga Keuntungan Mengangkat Kembali Isu Ini:

1. Pendidikan dan Kesadaran Kritis Isu ini dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran penting di sekolah dan universitas, terutama dalam mata pelajaran sejarah, kewarganegaraan, dan pendidikan gender. Kesadaran kritis generasi muda akan membentuk masyarakat yang lebih adil dan tidak permisif terhadap kekerasan.

2. Rekonsiliasi Nasional yang Lebih Komprehensif Mengangkat kembali kasus ini menjadi bagian dari proses rekonsiliasi dan pemulihan bangsa. Tanpa keadilan bagi korban, luka sejarah akan terus terbuka dan berpotensi menjadi trauma kolektif antargenerasi.

3. Dorongan Perubahan Kebijakan Dengan sorotan publik yang kuat, pemerintah dapat terdorong untuk menyusun regulasi atau kebijakan baru yang mendukung perlindungan perempuan dan pencegahan kekerasan seksual.

Perhatian! Saatnya Negara Bergerak

Sudah saatnya negara tidak lagi menghindar. Pengakuan atas peristiwa Mei 1998 dan kekerasan seksual yang menyertainya adalah langkah awal menuju keadilan. Jangan biarkan sejarah hanya mengabarkan yang manis. Saatnya membongkar yang pahit, agar tidak terulang di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun