Penghakiman publik di media sosial, yang sering disebut cancel culture atau perundungan digital, disebabkan oleh kecepatan viral konten, anonimitas, dan kemudahan akses informasi. Segera setelah opini atau tuduhan negatif tersebar, massa dapat langsung menghujani korban dengan makian, menyebarluaskan data pribadi, hingga boikot total. Seringkali, pola ini menghentikan diskusi karena lebih berfokus pada hukuman publik daripada mencari klarifikasi atau solusi bersama.
Contoh spesifik di Indonesia terjadi dalam kasus seorang mahasiswa di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2020, di mana tangkapan layar percakapan yang kemudian terbukti palsu dikirimkan kepada seorang mahasiswa yang dituduh menyerang seorang wanita. Netizen ramai-ramai menyebarkannya kembali tanpa verifikasi, hingga profil korban menjadi berdasarkan fitnah dan ancaman. Tangkapan layar menunjukkan hasil rekayasa setelah kampus tersebut disesatkan, namun reputasi dan kondisi psikologis korban telah terpengaruh negatif.
Dalam menangani situasi ini, Pancasila dapat memberikan peringatan yang berdasarkan moral. Sila 2 menyebutkan adil dan beradab kemanusiaan, yang berarti kita harus menghormati setiap individu; Sila 4 membahas musyawarah, yang berarti kita harus mencari solusi melalui dialog daripada melalui sepihak; dan Sila 5 membahas keadilan sosial agar penanganan klien bersifat etis dan sesuai. Dengan mengikuti Pancasila, setiap warganet dapat bersikap bijak, menahan diri, dan menciptakan suasana digital yang inklusif dan bermartabat.
Mekanisme batin yang disebut "filter moral" memproses setiap pendapat atau reaksi sebelum dipublikasikan. Mekanisme ini mirip dengan saringan yang menahan nafsu negatif, seperti emosi marah, rasa ingin menghukum, atau hasrat ikut-ikutan, agar kita lebih bijak saat berbicara di dunia digital. Dengan filter moral aktif, kita lebih cenderung untuk memeriksa fakta, mempertimbangkan konteks, dan mengevaluasi bagaimana kata-kata berdampak pada orang lain. Oleh karena itu, kritik atau komentar yang dibuat lebih konstruktif dan manusiawi.
Filter moral ini ditetapkan sebagai landasan etika publik oleh nilai-nilai Pancasila, terutama sila ke-2, ke-4, dan ke-5. Sila 2 "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" mengajarkan kita untuk selalu menghargai martabat orang yang berbicara dengan kita; Sila 4 "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan" mendorong kita untuk memilih diskusi musyawarah daripada keputusan sepihak; dan Sila 5 menegaskan betapa pentingnya memperhatikan kesejahteraan bersama daripada hanya mengejar keinginan pribadi. Ketiganya mendorong interaksi online yang adil, beradab, dan demokratis.
Meski Pancasila bukan instrumen hukum siber yang mengikat secara formal, ia berperan sebagai "kompas etis" yang membimbing perilaku warganet. Dengan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pijakan filter moral, kita dapat menahan diri dari reaksi gegabah, memprioritaskan keadilan dan kemanusiaan, serta membangun ekosistem digital yang inklusif dan bertanggung jawab.
Di era media sosial, setiap pos bagaikan percikan yang memicu respons emosional instan: satu notifikasi, satu respons tanpa jeda untuk berpikir. Menyusuri tanpa henti seringkali membuat kita hanya membaca judul atau sepotong cuplikan, dan kemudian segera 'suka', 'bagikan', atau mengutuk---ketika konteks penuh belum terungkap. Dorongan untuk menjadi yang pertama bereaksi membuat konten menyebar lebih cepat, sehingga informasi mentah seringkali menyebar lebih cepat daripada klarifikasi atau fakta lengkap.
Semakin banyak interaksi, algoritma platform memperkuat "pengadilan maya" dengan menampilkan posting yang memicu banyak komentar dan tanggapan, menghasilkan efek bola salju. Terlepas dari ribuan warganet yang menyuarakan kritik mereka, tidak banyak yang berani menentang cerita yang berlaku, karena takut dianggap "membela pelaku". Contoh nyata terjadi pada akhir 2022, ketika video bantuan alat belajar OHFA Tech Korea untuk SLB-A Nasional tertahan di Bea Cukai Soekarno-Hatta. Netizen gegap gempita menyatakan bahwa bea cukai tidak berhati-hati dan korup, memposting tagar protes tanpa mengetahui proses fiskal secara keseluruhan. Hasilnya, kasus itu lebih dipicu oleh judul kontroversial daripada pemahaman proses secara keseluruhan, tetapi otoritas segera mengeluarkan pernyataan resmi untuk menghentikan perdebatan.
Solusi strategis untuk menghadapi derasnya penghakiman publik di media sosial dapat dimulai dengan kampanye literasi digital yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila, yang mengajarkan orang-orang untuk mengaktifkan filter moral sebelum bertindak---yakni berpikir adil, beradab, dan demokratis sesuai dengan sila ke-2, ke-4, dan ke-5. Kampanye ini dapat dikemas menjadi modul pembelajaran online, konten kreatif, dan pelatihan komunitas yang mengutamakan etika digital berbasis empati: berkomentar dengan hormat, memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya, dan memahami dampak sosial dari jejak digital. Agar efeknya lebih besar, pemerintah harus bekerja sama dengan penggerak pendidikan dan pemerintah, platform media sosial harus mengontrol algoritma dan melindungi ruang online, dan masyarakat sipil harus mengawasi dan menyebarkan praktik etis. Memperkenalkan nilai-nilai Pancasila ke dunia digital bukan sekadar formalitas; itu adalah langkah maju menuju masyarakat online yang lebih bermoral, tangguh, dan beradab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI