Abad ke-21 ditandai oleh peningkatan krisis lingkungan, kebakaran hutan masif, gelombang panas ekstrem, dan penurunan keanekaragaman hayati menunjukkan bahwa dunia seolah-olah "terbakar". Kondisi ini bukan hanya data ilmiah; ia adalah realitas sosial-ekologis yang memaksa kita untuk mempertanyakan kehidupan modern. Bencana alam melanda Bumi, sedangkan generasi digital---khususnya pengguna TikTok---membuat gelombang konten tarian, tantangan, dan "viral" tanpa henti. Ketidaksesuaian antara kesenangan digital dan kebutuhan ekologis menyebabkan paradoks. Apakah tawa dan tarian yang terjadi di ponsel menunjukkan solidaritas kreatif atau justru menyangkal kerusakan alam?
TikTok telah menciptakan ruang publik baru untuk generasi milenial dan Z karena ritme cepatnya, estetika visual yang kuat, dan logika algoritma yang memprioritaskan interaksi. Ruang publik hiperreal ini terdiri dari video singkat, remiks audio, dan komentar singkat, dan seringkali mengabaikan isu besar seperti krisis iklim. Oleh karena itu, narasi "dunia terbakar" direduksi menjadi latar belakang yang tidak bergerak di atas gelombang konten ringan. Ironi ini menimbulkan pertanyaan penting: sejauh mana kultur digital membantu mengatasi masalah lingkungan paling mendesak di zaman kita, atau bahkan menyangkalnya?
TikTok sekarang lebih dari sekedar situs hiburan dan tempat bersenang-senang; itu adalah representasi dari cara generasi digital melihat pandemi. Warganet sedang sibuk membuat video lucu, lipsync, dan tantangan viral di tengah kabar tentang kebakaran hutan dan krisis iklim yang semakin nyata. Apakah ini merupakan tanda yang tidak penting? Tidak mungkin. Ini mungkin cara baru untuk mengatasi kecemasan, atau bahkan bentuk empati yang dibalut dengan kreativitas.
Dalam artikel ini, akan membahas bagaimana platform seperti TikTok menjadi medan tarik-ulur antara budaya dan kesadaran lingkungan yang cepat. Di satu sisi, isi mungkin membuat pentingnya krisis terlupakan. Namun, jika digunakan dengan hati-hati, ia dapat berfungsi sebagai alat penting untuk kampanye lingkungan.
Kebakaran hutan menghanguskan lebih dari 50 juta hektar tanah setiap tahun---lebih dari tiga kali luas Pulau Jawa---sementara suhu global telah meningkat lebih dari 1 C sejak era pra-industri. Sebaliknya, satu miliar pengguna aktif setiap bulan mengunjungi TikTok, yang rata-rata menghabiskan 95 menit untuk scroll dan bernyanyi. Padahal, meskipun Bumi mengalami krisis iklim, konten tentangnya hanya mengisi kurang dari 1% dari semua video yang ditayangkan.
Algoritma TikTok sering "menambang" konten untuk membuat orang tersenyum dan bertindak. Menurut data internal platform, tagar #DanceChallenge telah mengumpulkan lebih dari 220 miliar tampilan, sedangkan #ClimateTok baru saja mendapatkan 15 miliar tampilan---hanya sekitar 7% dari gebyar lipsync dan tarian. Fakta ini mengungkap jurang besar antara prioritas hiburan instan dan urgensi menyelamatkan planet.
Selain itu, penelitian Content Trends Report 2023 menyatakan bahwa kurang dari 0,5 persen dari 300 tren paling populer di TikTok membahas masalah lingkungan. Dengan kata lain, sikap "swipe it off" menjadi lebih umum karena pelanggan lebih suka hiburan daripada pendidikan. Meskipun demikian, pola konsumsi ini juga menawarkan peluang---pendekatan visual yang singkat lebih mudah melekat di ingatan generasi digital.
Bukti paling nyata datang pada Hari Bumi 2021: tagar #EarthDay telah memecahkan rekor dengan 6 miliar tampilan dalam satu minggu, dan tagar #PlasticFreeJuly telah meraih 3,5 miliar tampilan. Dengan menggabungkan pesan hijau dengan musik, gerakan tarian, dan tantangan kecil, kesadaran iklim dapat segera menyapa feed pengguna.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Greenpeace pada tahun 2022 menemukan bahwa enam puluh dua persen pengguna TikTok setuju bahwa konten kreatif dapat meningkatkan kepedulian mereka pada masalah lingkungan. Angka-angka ini menunjukkan bahwa generasi digital benar-benar haus konten bermakna---asal dikemas sesuai dengan "bahasa" platform.
Karena penting untuk mengubah ironi, kerja sama yang efektif diperlukan. Para kreator, ilmuwan, dan aktivis harus bekerja sama untuk membuat tantangan #EcoTok yang menarik dengan menggunakan algoritma untuk mengutamakan konten yang ramah lingkungan. Dengan demikian, TikTok dapat berkembang menjadi bukan hanya tempat untuk menari, tetapi juga menjadi tempat untuk mendukung perubahan iklim, di mana tarian viral memicu aksi nyata untuk mempertahankan Bumi.
Meskipun TikTok mungkin cepat, menyenangkan, dan penuh warna, bencana global akan datang dengan cepat. Kami tidak dapat menghentikan kebakaran ini. Perjuangan untuk menyelamatkan Bumi memerlukan lebih dari sekadar jempol dan hashtag. Kesadaran lingkungan harus berkembang dari latar belakang video menjadi cerita utama yang menarik jutaan pengguna.