Mohon tunggu...
Fitri Lestari
Fitri Lestari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Kepedulian Hukum atas Anak Korban Kasus Prostitusi

30 April 2015   23:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:30 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kegelisahan menjangkit bak penyakit akan maraknya kasus prostitusi di Indonesia ditambah lagi korban yang masih anak-anak. Berita-berita di televisi maupun koran sudah tak luput dengan kasus ini. Dimulai dengan kasus Deudeh atau tata chubby yang ditemukan tewas di kos mewahnya yeng terletak di kamar 28 kosan 'Boarding House' 15C di Tebet Utara, Jakarta Selatan. Ditambah dengan adanya salah satu korban anak-anak yang telah mengandung beberapa bulan diakibatkan karena terlibat dalam kejahatan prostitusi. Mendengar berita ini maka akan sangat miris sekali ketika anak-anak yang siap membangun bangsa yang berkemajuan tetapi terhalang dengan kasus prostitusi.

Dalam kamus besar bahasa indonesia prostitusi adalah pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan; pelacuran (nomina). Contoh: sudah banyak tempat perjudian dan -- yang ditutup. Prostitusi merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum (tindak pidana) karena diatur pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 296 dan pasal 506. Pasal 296 menyatakan 'barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadkannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak lima belas ribu rupiah'. Sedangkan pasal 506 menyatakan 'barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seseorang wanita dan menjadikannya sebagai pelacur, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.

Tak hanya didalam KUHP namun pemerintah juga menetapkan aturan khusus, salah satunya terdapat pada Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). UU SPPA adalah aturan yang concern terhadap perlindungan anak. Dalam konsideran UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan. Yang demikian tersebut adalah beberapa konsideran atau penimbangan yang menjadi latarbelakang lahirnya UU SPPA.

Maraknya anak yang menjadi korban prostitusi menjadikan anak tak lagi dapat berpikir jernih, tak dapat menerima ilmu bahkan menjadikan mereka dungu selain itu anak tak dapat bergerak leluasa bermain dengan teman-teman sebayanya. Beberapa anak-anak di iming-imingi untuk bergabung dalam bisnis prostitusi maka mucikari dapat diberikan hukuman didasarkan atas peraturan pada KUHP.

Lalu bagaimana dengan nasib anak korban prostitusi? Apakah anak yang menjadi korban prostitusi dilindungi secara hukum? Ya, karena dengan lahirnya UU SPPA maka pemerintah telah turut andil peduli terhadap anak. Didalam UU SPPA terdapat pendefinisain anak, yaitu anak di bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori:

a.anak yang menjadi pelaku tindak pidana, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Terdapat pada Pasal 1 angka 3 UU SPPA.

b.anak yang menjadi korban tindak pidana (anak korban), anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana, terdapat pada Pasal 1 angka 4 UU SPPA.

c.anak yang menjadi saksi tindak pidana (anak saksi), anak ini adalah yang berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara yang didengar, dilihat, dan/atau dialami. Tercantum pada Pasal 1 angka 5 UU SPPA .

Sehingga sesuai dengan kasus mengenai anak sebagai korban prostitusi maka ia termasuk anak korban. Sebagaimana tercantum pada Pasal 1 angka 4 UU SPPA bahwa anak korban adalah anak yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi maka anak korban dan/atau anak saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 89 UU SPPA). Selain itu, dalam Pasal 90 ayat (1) tertuliskan anak korban dan anak saksi berhak atas:

a.upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga;

b.jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial; dan

c.kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara

Dapat kita bayangkan penderitaan mental anak korban prostitusi apalagi mereka yang telah hamil. Maka bangsa ini akan menagis ketika generasi-generasi yang dilahirkan mandul akan ilmu, akan menjadi apa negara ini? Dengan turut andilnya pemerintah atas lahirnya UU SPPA semoga dapat menjadikan generasi bangsa ini menjadi lebih baik. Tak hanya sekedar harapan namun semua pihak harus berperan terutama bagi anak korban sebagaimana diatur pada Pasal 91 UU SPPA bahwa perlu adanya pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional, lembaga kesejahteraan perlindungan anak, instansi yang menangani perlindungan anak.

Peran dari keluarga adalah hal yang utama karena sebagai pihak pertama yang dikenal anak sejak mereka lahir dimana pendidikan awal juga dimulai dari keluarga. Tak menutup mata bagi masyarakat sekitar yang dapat berfungsi sebagai social control agar bangsa ini menjadi bangsa yang beradab dan berkemajuan. Maka mari bangun negeri ini dengan peduli dan menyayangi anak karena mereka dilahirkan untuk menjadi generasi penerus membangun negera yang berkemajuan !

(Fitri Lestari, mahasiswi FH UMY & Aktivis IMM)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun