Mohon tunggu...
F. Nugrahani Setyaningsih
F. Nugrahani Setyaningsih Mohon Tunggu... Administrasi - JFT Pranata Humas

Anggota Iprahumas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Audit Komunikasi Gencar Disodorkan, Kenapa Banyak Kepala Daerah Enggan ?

26 Agustus 2017   12:47 Diperbarui: 8 Desember 2017   08:54 1774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak 2011, pemerintah melalui Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 27 Tahun 2011 telah mengeluarkan pedoman umum audit komunikasi di lingkungan instansi pemerintah. Namun hingga 2017 ini, rupanya masih banyak yang tak siap saat audit komunikasi disodorkan kepada pemerintah daerah utamanya pada unit-unit kerja yang menangani komunikasi Kepala Daerah.

Penulis telah melakukan wawancara terhadap 35 perwakilan staf kehumasan kepala daerah kabupaten/kota se-Jawa Tengah, dan hasilnya memang masih jauh panggang dari api. Jangankan melaksanakan audit komunikasi, sebagian besar dari mereka justru mengaku belum begitu memahami istilah audit komunikasi.

Padahal diakui oleh sebagian pranata humas, gagasan audit komunikasi termasuk gencar disodorkan oleh pemerintah pusat dalam berbagai pertemuan organisasi profesi kehumasan pemerintah.

Maka tak bisa dipungkiri jika kemudian publik umumnya lebih banyak melekatkan kosakata audit pada segala hal yang terkait dengan catatan keuangan. Tak banyak yang mengetahui bahwa proses komunikasi pun dapat diperiksa, dievaluasi dan diukur dengan cermat dan sistematis.

Itulah mengapa di lembaga pemerintahan sekali pun, audit semacam ini belum banyak yang mengaplikasikan. Padahal semua kegiatan pemerintahan termasuk kegiatan komunikasi kepala daerah dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Mengingat APBD merupakan uang rakyat, maka semestinya anggaran untuk komunikasi kepala daerah juga harus selalu mengedepankan skala prioritas dan kemanfaatan anggaran.

Sayangnya di era pemilihan kepala daerah secara langsung saat ini, anggaran komunikasi kepala daerah seringkali disusun berdasarkan tarik menarik kepentingan politik ketimbang faktor skala prioritas dan kemanfaatan.

Sudah jadi rahasia umum jika pimpinan media massa yang oplah medianya kecil bisa mendapatkan belanja iklan yang lebih besar karena sejak awal ikut andil sebagai tim sukses Kepala Daerah. Sementara itu, media yang sudah punya reputasi dan memiliki pelanggan setia, kadang harus gigit jari lantaran dalam masa kampanye sudah memilih untuk mengambil jarak dari Sang Pimpinan Daerah Terpilih.

Terkadang posisi tawar kepala daerah pun menjadi lemah saat dihadapkan dengan media abal-abal dan LSM yang giat mencari celah kelemahan Kepala Daerah. Jika Kepala Daerah beserta pejabat dan staf komunikasi tak punya nyali dan pengetahuan yang cukup terkait kredibilitas, jangkauan, dan pengaruh media yang menjadi partner kerjanya, maka bisa dipastikan mereka akan terus menjadi bulan-bulanan media. Walhasil, uang rakyat (baca : APBD) lah yang kemudian dijadikan jalan keluarnya.

Selanjutnya bisa ditebak, lima tahun masa kepemimpinannya, anggaran APBD akan semakin tersedot untuk menaikkan menjaga citra kepala daerah ketimbang menjual potensi daerah.

Andaikan Kepala Daerah dan pejabat Humas di daerah mampu lepas dari tarik menarik kepentingan politik dan bisa bebas dari ancaman LSM/media abal-abal, maka audit komunikasi yang diperkenalkan pertama kali oleh George Odioerne ini tentunya akan menjadi jawaban atas permasalahan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun