Gejolak ekonomi global yang terus berlanjut telah menciptakan riak besar di pasar tenaga kerja Indonesia. Hingga pertengahan tahun 2025, kita menyaksikan fenomena yang mengkhawatirkan: gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masif di berbagai sektor, dibarengi dengan ancaman serius dari resesi keterampilan (skills recession). Kondisi ini menuntut adaptasi cepat dan solusi inovatif dari semua pihak.
Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menunjukkan, jumlah kasus PHK melonjak signifikan. Sektor manufaktur, ritel, dan bahkan industri jasa yang sempat pulih pascapandemi, kini turut merasakan dampaknya. Perusahaan-perusahaan terpaksa merasionalisasi karyawan akibat penurunan permintaan pasar global, tekanan inflasi, kenaikan biaya operasional, dan pergeseran preferensi konsumen.
Namun, PHK hanyalah satu sisi dari koin. Sisi lainnya adalah fenomena "resesi keterampilan," di mana ketersediaan tenaga kerja tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Ironisnya, di tengah banyaknya pengangguran, terutama dari kalangan terdidik seperti lulusan universitas dan SMK, banyak perusahaan justru kesulitan mencari talenta dengan keterampilan yang relevan. Survei terbaru menunjukkan bahwa keterampilan digital, analisis data, kecerdasan buatan, dan green skills (keterampilan ramah lingkungan) menjadi sangat dicari. Namun, banyak angkatan kerja kita belum memiliki kompetensi tersebut.
Mengapa hal ini dapat terjadi?Â
Fenomena ini adalah hasil dari beberapa faktor kompleks:
Disrupsi Teknologi: Otomatisasi dan digitalisasi telah mengubah lanskap pekerjaan. Pekerjaan rutin semakin banyak digantikan oleh mesin dan algoritma, menuntut pekerja untuk menguasai keterampilan kognitif tingkat tinggi, kemampuan adaptasi, dan soft skills seperti pemecahan masalah dan kreativitas.
-
Kesenjangan Kurikulum Pendidikan: Kurikulum pendidikan di berbagai jenjang belum sepenuhnya responsif terhadap perubahan cepat di dunia industri. Banyak lulusan masih dibekali pengetahuan teoritis yang kurang relevan dengan praktik di lapangan.
Perlambatan Ekonomi Global: Ketidakpastian ekonomi global membuat perusahaan menunda ekspansi atau bahkan melakukan efisiensi, yang berdampak langsung pada penyerapan tenaga kerja.
Kurangnya Budaya Pembelajaran Berkelanjutan:Â Sebagian besar angkatan kerja belum terbiasa dengan konsep lifelong learning atau pembelajaran seumur hidup, yang esensial untuk tetap relevan di era disrupsi.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan sinergi dari berbagai pihak:
Pemerintah melalui Kemnaker dan kementerian terkait perlu memperkuat program pelatihan dan reskilling/upskilling yang terintegrasi dengan kebutuhan industri. Program Kartu Prakerja, misalnya, dapat diperluas jangkauannya dan disesuaikan dengan keterampilan masa depan. Insentif bagi perusahaan yang melakukan pelatihan internal bagi karyawannya juga bisa menjadi stimulus yang baik. Selain itu, pemerintah perlu terus mendorong investasi yang padat karya dan berkelanjutan.
Peran Industri:
Sektor swasta memiliki peran krusial dalam menyediakan data tentang kebutuhan keterampilan di masa depan. Kolaborasi dengan lembaga pendidikan untuk menyusun kurikulum yang relevan, serta pengembangan program magang dan pelatihan berbasis kerja, akan sangat membantu. Perusahaan juga bisa berinvestasi dalam pengembangan kapasitas karyawan yang ada, alih-alih hanya berfokus pada rekrutmen talenta baru.