Menurut saya, ini adalah hal yang cukup menarik untuk dibahas, karena impian memiliki rumah tentunya dimiliki oleh semua orang. Namun, apa yang sebenarnya hal yang mungkin membuat seseorang ragu ambil KPR?
Pertama-tama, mari kita lihat dari beberapa aspek terpenting terlebih dahulu. Seperti di mana saya bekerja? Berapa pendapatan saya? Di mana saya akan tinggal 10 tahun yang akan datang?Â
Jika pertanyaan tersebut dipecahkan, kita akan melihat beberapa jawaban yang cukup umum. Katakanlah saya bekerja di Jakarta, gaji saya 7 juta per bulan (sedikit lebih banyak dari UMR Jakarta 2025 yang nilainya Rp5.396.761 ), maka pertanyaan berikutnya, berapa persen cicilan yang aman untuk saya bayarkan setiap bulannya?Â
Banyak ahli keuangan yang merekomendasikan cicilan tidak boleh lebih dari 30 persen gaji bulanan, maka target cicilan saya setiap bulan adalah sekitar Rp 2,1 juta setiap bulannya.Â
Katakanlah bahwa KPR yang saya ambil adalah rumah tapak di perumahan yang dikembangkan oleh developer, bukan rumah second, atau apartemen.Â
Beli rumah di perumahan dengan cicilan Rp 2,1 juta di Jakarta rasanya hampir tidak mungkin. Bahkan rumah di pinggiran Jakarta (bukan pinggiran yang sebenarnya), harganya bisa mencapai 600 jutaan jika membeli rumah di perumahan yang dikembangkan oleh developer dengan rekam jejak yang jelas.Â
Kalau begitu, mari kita naikkan persentasenya menjadi 50 persen dari gaji bulanan, maka  nilainya sekitar 3,5 juta. Meski nilainya naik, untuk membeli rumah di Jakarta dan developer yang terpercaya, rasa masih sedikit sulit.Â
Itu dari satu aspek, yaitu gaji. Bagaimana kalau joint income? Gaji suami dan istri digabung untuk membeli rumah? Rasanya masih mungkin.Â
Tapi, pertanyaan selanjutnya, apakah pekerjaan saya akan selalu memberikan gaji yang stabil? Atau tempat kerja saya menjanjikan untuk tidak melakukan layoff hingga 15 tahun yang akan datang? Apakah saya memiliki sumber pendapatan lain jika sewaktu-waktu saya kehilangan pekerjaan? Karena tampaknya kredit rumah bukan sesuatu yang bisa dibayarkan "saat ada uang" dan cicilan harus terus dibayar selama beberapa tahun yang akan datang.Â
Pertanyaan lainnya, apakah saya akan tinggal di tempat itu 10 tahun yang akan datang? Bagaimana jika akhirnya saya mendapatkan pekerjaan di tempat lain? Bagaimana jika saya dimutasi? Dan berbagai hal lain yang mungkin saja terjadi. Â
Sebagai generasi yang berhadapan dengan pandemi Covid secara langsung, rasanya sulit untuk tidak memikirkan skenario terburuk, termasuk ketika memutuskan membeli rumah. Di tahun 2019, kita mungkin tidak akan pernah membayangkan bahwa akan ada waktu di mana kita tidak boleh keluar rumah karena ada virus yang menyerang dunia. Namun, ternyata itu bisa terjadi.Â