Mohon tunggu...
Rasfita Naila Ramadhani
Rasfita Naila Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa Prodi Ilmu Gizi

Makanlah makanan sehatmu

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Merokok Penyebab Malnutrisi Pada Lansia?

24 September 2025   20:07 Diperbarui: 24 September 2025   20:07 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia tengah menghadapi fenomena yang dinamakan "double burden" yang mengkhawatirkan adalah tingginya prevalensi perokok lansia yang bersamaan dengan masalah terkait malnutrisi pada kelompok usia tersebut. Namun, apakah kedua masalah antara lansia perokok dan malnutrisi pada lansia saling terkait?

Kebiasaan merokok pada lansia bukan sekadar masalah kesehatan bagi organ, melainkan sebagai katalisator yang dapat memperburuk kualitas asupan dan penyerapan zat gizi makro melalui mekanisme biologis, psikologis, dan perilaku yang saling memperkuat, sehingga menciptakan lingkaran setan malnutrisi yang mengancam kesejahteraan lansia di Indonesia.

Untuk memahami mengapa lansia yang merokok memiliki pola makan yang buruk dibanding dengan non-perokok, kita perlu melihat dampak biologis yang ditimbulkan oleh merokok terhadap sistem pencernaan dan metabolisme seseorang. Nikotin dan karbon monoksida yang terdapat dalam rokok tidak hanya dapat merusak kerja paru-paru, tetapi juga dapat mengacaukan kerja hormon yang mengatur sinyal lapar dan kenyang dalam tubuh. Penelitian neurobiologi menunjukkan bahwa nikotin mengaktifkan neurotransmitter dopamin yang menekan pusat nafsu makan di hipotalamus. Akibatnya, perokok mengalami penurunan nafsu makan hingga 10-15% dibandingkan non-perokok (Luo & Tseng, 2024). Lebih mengkhawatirkannya lagi, karbon monoksida dapat mengganggu kemampuan darah dalam mengangkut oksigen, memperlambat  metabolisme, dan mengurangi efisiensi penyerapan nutrisi di usus halus. Dampak ini sangat krusial pada lansia karena di usia mereka sudah mengalami penurunan fungsi pencernaan alami yang diakibatkan oleh penuaan. Kombinasi faktor usia dan merokok menciptakan "perfect storm" untuk malnutrisi.

Berdasarkan data National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) 2017-2018 mengungkap fakta mengejutkan, lansia perokok memiliki probabilitas 90% lebih tinggi mengonsumsi makanan beku dan ultra-processed foods (UPFs) dibandingkan yang non-perokok (Lin et al., 2024). Jika konteksnya di Indonesia, ini berarti peralihan dari nasi dengan lauk pauk tradisional menuju mie instan, fast food, dan makanan kemasan. Pergeseran ini menimbulkan permasalahan di mana makanan olahan yang mengandung karbohidrat sederhana yang menyebabkan lonjakan gula darah, sementara kandungan serat dan mikronutriennya yang minim. Sebaliknya, non-perokok cenderung mempertahankan pola makan tradisional dengan nasi, umbi-umbian, dan sayuran yang kaya serat dan nutrisi yang kompleks (Luo & Tseng, 2024)

Penelitian di São Paulo, Brasil, menunjukkan bahwa konsumsi protein pada lansia perokok 23% lebih rendah dibandingkan non-perokok, terutama dari sumber protein berkualitas seperti daging, telur, dan kacang-kacangan (Gonçalves et al., 2018). Jika konteksnya di Indonesia, ini berarti berkurangnya konsumsi tempe, tahu, ikan, dan ayam yang merupakan sumber protein utama masyarakat. Kekurangan protein pada lansia perokok memiliki efek domino yang sangat berbahaya. Pertama, dapat mempercepat sarkopenia atau penurunan massa otot yang sudah dimulai ketika memasuki usia 30 tahun dengan laju 3-8% per dekade. Kedua, dapat melemahkan sistem imun yang memang sudah rentan pada lansia. Ketiga, memperlambat penyembuhan luka dan regenerasi sel. Penelitian menunjukkan bahwa lansia perokok memiliki status gizi yang lebih buruk, frekuensi makan lebih sedikit per harinya, serta proporsi underweight yang lebih tinggi dibandingkan non-perokok (Gonçalves et al., 2018).

Meskipun total asupan energi perokok lebih rendah, kualitas lemak yang dikonsumsi lebih buruk. Penelitian Raatz et al., (2017) menemukan bahwa perokok mengonsumsi asam lemak tak jenuh ganda, asam linolenat, dan asam dokosaheksaenoat (DHA) lebih rendah dibandingkan non-perokok. Di Indonesia, hal ini tercermin dari preferensi lansia perokok terhadap gorengan dan makanan cepat saji yang tinggi lemak trans, berbeda dengan non-perokok yang lebih banyak mengonsumsi masakan rumah menggunakan minyak kelapa atau santan dengan komposisi lemak lebih seimbang (Lin et al., 2024). Perokok juga melaporkan asupan energi total lebih rendah, yang diduga terkait dengan efek nikotin yang menekan nafsu makan dan meningkatkan metabolisme basal (Raatz et al., 2017).

Studi berbasis National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) menunjukkan perbedaan kualitas diet yang signifikan. Perokok memiliki skor Healthy Eating Index (HEI) yang lebih rendah dibandingkan mantan perokok maupun non-perokok (Luo & Tseng, 2024). Skor HEI perokok tercatat 49,2, sedangkan mantan perokok 54,0 dan non-perokok 53,3. Temuan positif menunjukkan bahwa mantan perokok yang berhenti selama 5-10 tahun dapat mencapai kualitas diet hampir sama dengan non-perokok (Luo & Tseng, 2024). Selain itu, perokok melaporkan asupan mikronutrien penting seperti vitamin C, folat, magnesium, dan kalsium yang lebih rendah dibandingkan non-perokok (Raatz et al., 2017).

Meskipun data internasional memberikan gambaran yang jelas, interpretasi terhadapnya perlu dilakukan secara kritis. Pertama, mayoritas penelitian dilakukan di negara maju dengan konteks sosioekonomi dan budaya berbeda dengan Indonesia. Kedua, hubungan kausal antara merokok dan pola makan buruk masih memerlukan penelitian longitudinal yang lebih panjang. Aspek penting yang belum dieksplorasi adalah faktor sosioekonomi sebagai confounding variable. Pola makan buruk pada perokok mungkin disebabkan oleh merokok itu sendiri, atau karena perokok umumnya berasal dari kelompok sosioekonomi rendah dengan akses terbatas terhadap makanan bergizi. Di Indonesia, pertanyaan ini krusial mengingat mayoritas perokok berasal dari kelompok pendapatan menengah ke bawah yang rentan terhadap food insecurity.

Indonesia menghadapi tantangan unik dalam mengatasi masalah ini. Budaya merokok yang masih dianggap normal, terutama di kalangan laki-laki lansia, kontras dengan tradisi makan yang sebenarnya cukup sehat. Pola makan tradisional Indonesia dengan nasi, sayur, lauk pauk, dan buah sudah memenuhi prinsip gizi seimbang. Namun, urbanisasi dan perubahan gaya hidup mulai menggeser pola ini. Konsumsi makanan olahan di kalangan lansia perkotaan terus meningkat, sementara konsumsi sayur dan buah menurun. Kondisi ini menciptakan peluang intervensi strategis melalui program yang mengintegrasikan edukasi gizi dengan program berhenti merokok. Penelitian menunjukkan bahwa mantan perokok yang berhenti merokok dapat mencapai kualitas diet yang hampir setara dengan non-perokok (Luo & Tseng, 2024).

Fasilitas kesehatan primer perlu mengintegrasikan skrining status merokok dengan penilaian gizi pada setiap kunjungan lansia, termasuk konseling berhenti merokok yang dikaitkan dengan manfaat perbaikan nafsu makan, suplementasi vitamin untuk mengurangi stres oksidatif, dan monitoring berkala asupan protein serta status gizi. Program edukasi dapat dilakukan melalui Posyandu lansia dengan fokus "Makan Sehat Tanpa Rokok", pelatihan kader kesehatan untuk mengenali tanda malnutrisi pada lansia perokok, dan kampanye kesadaran keluarga tentang dampak rokok terhadap pola makan. Pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan yang mendukung aksesibilitas makanan sehat sambil membatasi akses rokok, seperti subsidi makanan tinggi protein bagi lansia dari keluarga perokok, regulasi pajak lebih tinggi untuk rokok dan makanan ultra-processed, serta program food voucher khusus lansia yang terikat dengan status bebas rokok.

Hubungan antara merokok dan malnutrisi pada lansia bukan sekadar korelasi statistik, melainkan lingkaran setan yang saling memperkuat. Merokok merusak sistem biologis yang mengatur nafsu makan dan penyerapan nutrisi, sementara malnutrisi memperburuk dampak negatif rokok terhadap kesehatan. Namun, penelitian juga menunjukkan bahwa lingkaran ini dapat diputus. Intervensi yang tepat sasaran, yang menggabungkan program berhenti merokok dengan edukasi gizi, terbukti efektif memperbaiki kualitas hidup lansia. Indonesia memiliki modal dasar yang baik untuk mengimplementasikan solusi ini melalui kekayaan tradisi kuliner dan sistem kesehatan komunitas yang kuat. Tantangannya bukan lagi pada pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan, melainkan pada komitmen politik dan sumber daya untuk melakukannya secara konsisten dan berkelanjutan. Karena pada akhirnya, lansia yang sehat dan bergizi bukan hanya tanggung jawab individual, tetapi investasi sosial untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun