Serang, 19 Maret 2025 - Masyarakat Baduy memiliki sistem adat yang sangat kental dan diwariskan turun temurun dari nenek moyang ataupun dari generasi ke generasi. Sistem adat istiadat ini telah menyatu dalam kehidupan masyarakat Baduy dan menjadi pedoman utama dalam bersikap serta menjalani aktivitas sehari-hari. Prinsip yang mereka pegang erat berkaitan dengan cara memandang alam serta menjalani kehidupan sesuai dengan nilai-nilai yang diwariskan turun-temurun. Hal ini sebagai bentuk penghormatan bagi nenek moyang mereka, karena berbagai jenis aktivitas yang dilakukan terdapat norma adat yang berlaku bagi masyarakat suku Baduy.
Aktivitas yang dilakukan masyarakat Baduy menjadi perhatian masyarakat luar dimana masyarakat memandang kearifan lokal yang sangat menarik pada kehidupan masyarkat Baduy. Kearifan lokal masyarakat Baduy yang menarik dibahas adalah terkait hal bertani, karena banyak masyarakat Baduy yang bergantung pada alam dalam memenuhi kehidupannya seperti dengan melakukan kegiatan bertani sebagai ketahanan pangan mereka. Sebagian besar masyarakat adat Baduy masih menerapkan sistem pertanian dengan cara berhuma, karena metode ini telah diwariskan oleh para leluhur (Mirajiani, 2022). Oleh karena itu, hingga kini mereka terus menjaga dan melestarikan cara bertani tersebut.
Keunikan cara bertani masyarakat Baduy terlihat dari pola penggunaan lahan yang disebut huma, merupakan ladang yang ditanami padi dan palawija, kemudian dibiarkan tanpa digarap setelah panen agar tumbuh kembali menjadi semak belukar secara alami, sehingga kesuburannya terjaga (Johan, 2018). Sistem ini bukan sekadar metode bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan pangan dan ketahanan pangan, tetapi juga mencerminkan kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan alam. Berbeda dengan pertanian modern yang bergantung pada sistem irigasi canggih, padi huma ditanam di ladang kering tanpa menggunakan teknologi irigasi modern. Metode tradisional ini mengandalkan curah hujan alami, menjadikannya lebih selaras dengan ritme alam dan dilakukan setahun sekali.
Padi huma memiliki keunggulan yang unik dalam mendukung ketahanan pangan, terutama dalam hal daya simpan yang luar biasa. Kandungan air yang rendah pada beras padi huma membuatnya dapat disimpan dalam jangka waktu yang sangat lama tanpa mengalami penurunan kualitas (Syaltut, 2023). Bahkan, dalam kondisi penyimpanan yang baik, padi huma mampu bertahan hingga ratusan tahun, menjadikannya cadangan pangan yang andal bagi masyarakat adat. Keunggulan ini menunjukkan bahwa pertanian berkelanjutan tidak selalu bergantung pada teknologi modern atau sistem pertanian intensif. Justru, metode bercocok tanam tradisional yang selaras dengan alam dapat menjadi solusi bagi ketahanan pangan jangka panjang, sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem.
Kesuksesan dalam penanaman padi huma bukan semata-mata bergantung pada teknologi, tetapi juga pada nilai-nilai kepercayaan, kerja sama dalam keluarga, dan keselarasan dengan alam. Dalam tradisi masyarakat adat, proses ngaseuk, yakni menanam benih padi, bukan sekadar aktivitas bercocok tanam, melainkan ritual yang sarat makna. Kepala keluarga berperan sebagai pemimpin dalam proses ini, sementara seluruh anggota keluarga ikut serta, mencerminkan keharmonisan dan kebersamaan. Setiap gerakan dalam ngaseuk mengandung nilai gotong royong dan penghormatan terhadap alam, karena mereka percaya bahwa keseimbangan ekosistem adalah kunci keberhasilan panen. Dengan demikian, bertani padi huma bukan hanya soal menghasilkan pangan, tetapi juga mempertahankan tradisi, membangun solidaritas keluarga, serta menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan.
Reference
Johan, I. (2018). Etnoekologi, biodiversitas padi dan modernisasi budidaya padi: Studi kasus pada masyarakat baduy dan kampung naga. Jurnal Biodjati, 3(1), 47--62.
Mirajiani. (2022). Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Baduy Dalam Pranata Sosial Untuk Menunjang Ketahanan Pangan. Jurnal Penyuluhan Dan Pemberdayaan Masyarakat, 1(1), 1--8.
Syaltut, M. (2023). Budaya pangan masyarakat badui berbasis kearifan lokal (study budaya pangan Badui Luar). Jurnal Gastronomi Indonesia, 11(1), 14--22.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI