Mohon tunggu...
Firqah Annajiyah Mansyuroh
Firqah Annajiyah Mansyuroh Mohon Tunggu... -

Firqah Annajiyah Mansyuroh sehari-hari nya mengajar pada Fakultas Syariah dosen homebase pada program studi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah), mediator non-hakim, sekaligus istri dan ibu. Peminatan tulisan non-fiksi pada bidang Hukum Islam serta isu-isu terkait dengan Islam, gender, sosial kemasyarakatan dan gaya hidup. Peminatan tulisan fiksi pada sajak dan puisi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Kekuasaan, Jarak, dan Rasa Cukup

16 Juli 2025   16:13 Diperbarui: 16 Juli 2025   16:13 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak kecil, saya tidak asing dengan ruang-ruang berkarpet tebal, sapaan formal, dan senyum-senyum yang terlalu simetris untuk dianggap tulus. Saya lahir di keluarga pejabat. Nama belakang saya membawa serta bayang-bayang jabatan dan citra baik yang sudah dibangun jauh sebelum saya bisa memahami artinya. Dalam banyak hal, saya tumbuh di tengah kekuasaan --- dan pada saat yang bersamaan, saya belajar menjaga jarak darinya.

Lucunya, semakin saya besar, semakin saya ingin menjauh dari sorotan itu. Bukan karena saya malu atau tidak bersyukur. Sebaliknya, saya sangat menghargai bagaimana orang tua saya menjalani peran mereka --- dengan integritas, kerja keras, dan kehati-hatian yang kadang membuat kami sekeluarga harus membayar harga mahal: kehilangan waktu, ruang pribadi, bahkan rasa aman. Tapi pengalaman itu juga membuat saya paham bahwa kekuasaan, seindah apa pun tampilannya dari luar, selalu membawa beban. Dan saya, sejak lama, memutuskan untuk tidak menjadikannya pusat hidup saya.

Namun tidak semua orang melihatnya seperti itu.

Saya sering menyaksikan orang-orang yang menjalani hubungan dengan kekuasaan dengan cara yang sangat berbeda. Ada yang begitu antusias membangun relasi: ikut acara ini, datang ke pertemuan itu, menyebutkan nama tokoh ini, bercerita tentang kedekatan dengan tokoh itu. Beberapa dari mereka tahu siapa istri bupati, siapa adik anggota DPR, siapa komisaris ini dan itu. Dan mereka bangga dengan itu semua.

Saya, jujur saja, sering kali geli melihatnya. Geli bukan dalam arti merendahkan --- lebih pada rasa heran yang tak bisa saya jelaskan dengan bahasa yang sopan. Ada semacam ironi yang saya rasakan: saya, yang tumbuh di lingkungan kekuasaan, justru tidak pernah merasa perlu membangun citra dekat dengan tokoh penting. Sementara mereka, yang datang dari latar berbeda, tampak begitu menikmati proses mendekat, menempel, dan membangun relasi dengan mereka yang berkuasa. Tapi di balik rasa geli itu, saya juga tak bisa menutupi rasa kagum: mereka berhasil.

Mengapa Orang Ingin Dekat dengan Orang Penting?

Pertanyaan ini berkali-kali muncul di kepala saya. Saya tidak mencibir orang yang bangga karena bisa dekat dengan pejabat atau tokoh terkenal. Saya hanya penasaran: kenapa? Apa yang membuat orang merasa ikut penting saat berada di dekat orang penting?

Jawabannya, ternyata, berlapis-lapis.

Pertama, karena status itu menular. Dalam psikologi sosial, ini dikenal sebagai efek halo --- ketika seseorang yang memiliki atribut "unggul" (dalam hal ini: status, kuasa, pengaruh) membuat orang-orang di sekitarnya ikut dipersepsikan sebagai unggul. Dekat dengan orang penting memberi kesan bahwa kita juga penting, atau setidaknya lebih penting daripada orang biasa. Dan di dunia yang kerap menilai manusia dari siapa yang dia kenal, ini bisa jadi modal sosial yang sangat berharga.

Kedua, karena kedekatan dengan kekuasaan membuka akses. Banyak orang melihat kekuasaan bukan hanya sebagai simbol, tapi juga sebagai jalan menuju peluang: proyek, jabatan, proteksi, koneksi. Dekat dengan pejabat bukan hanya soal gengsi, tapi bisa berarti keamanan birokratis, bantuan jika ada masalah, atau jalan pintas dalam urusan yang rumit. Ada rasa aman dan kemungkinan sukses yang melekat pada relasi itu.

Ketiga, karena budaya kita masih membawa sisa-sisa struktur feodal. Dalam masyarakat hierarkis, berdekatan dengan tokoh berkuasa secara otomatis menaikkan status seseorang --- bahkan jika kedekatan itu hanya simbolik, atau dibangun lewat basa-basi. Seperti memakai tas mewah atau tinggal di komplek elite, berteman dengan orang penting menjadi semacam pernyataan sosial: "Saya sudah sampai di titik ini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun