Artikel ini menyebut MIS sebagai katalisator perubahan dan transparansi, bahkan menyatakan bahwa tidak ada satu pun responden yang tidak puas terhadap sistem. Klaim ini terdengar terlalu sempurna. Dalam dunia nyata, setiap sistem bahkan yang terbaik pasti memiliki pengguna yang frustrasi, proses yang macet, atau bug yang belum terselesaikan. Apakah mungkin seluruh pengguna puas mutlak, ataukah ini sekadar bias respon karena survei dilakukan oleh internal perusahaan?
Lebih parahnya, risiko seperti data error karena input yang salah, kebutuhan upgrade yang berulang, hingga biaya maintenance yang meningkat hanya disinggung sekilas dan langsung dinetralisir sebagai "tantangan kecil."
MIS---Sistem Penunjang atau Simbol Prestise?
Jika dibaca dengan teliti, jurnal ini lebih terlihat sebagai studi validasi dari sistem yang sudah ada, bukan evaluasi kritis. Padahal, implementasi MIS bukan sekadar soal instalasi dan pelatihan. Ia menyangkut perubahan proses kerja, budaya organisasi, dan strategi bisnis jangka panjang.
Daripada terus mengagungkan MIS sebagai penyelamat, organisasi seharusnya bertanya lebih keras:
Apakah sistem ini benar-benar membawa perubahan, atau hanya simbol prestise digitalisasi?
Apakah kita benar-benar menjadi lebih efisien, atau sekadar merasa modern karena memiliki sistem informasi?
Jika tidak dijawab secara jujur, maka MIS hanya akan menjadi satu lagi proyek mahal yang berjalan... tanpa arah.
Referensi
Ong, H. T. (2021). Assessing the impact of organizational effectiveness and efficiency resulting from MIS usage in terms of customer satisfaction, operational management, and financial investment: The case of MMI Company. Journal of Management Information and Decision Sciences, 24(S1), 1--15.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI