Mohon tunggu...
Firman Seponada
Firman Seponada Mohon Tunggu... -

Memegang idealisme itu laksana menggenggam bara api. Tak banyak orang mau melakukannya. Sebab, hanya sedikit yang sudi bersusah-susah mencari pelindung telapak agar tak melepuh.....

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Wajib Izin Mertua...

28 Mei 2010   01:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:55 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_151903" align="alignleft" width="300" caption="Sabam Leo Batubara saat menjadi pembicara Lokakarya Kode Etik Jurnalistik di Hotel Bukit Randu Bandarlampung, 24-26 Mei 2010. (Dok. Alam Islam)"][/caption] Umurnya sudah tua, 70 tahun, tetapi dia masih tampak gagah. Suaranya lantang. Volumenya meninggi manakala menyinggung topik berkaitan dengan kebebasan pers. Mikropon yang disiapkan panitia tak disentuhnya. Dia tak butuh pengeras suara karena mampu mengucap dengan lugas. Ya, dia Sabam Leo Batubara. Seorang wartawan senior, Wakil Ketua Dewan Pers periode 2007-2010. Saya sudah sering mendengar nama ini. Dia jurnalis yang terkenal lurus. Tiket yang mengantarkannya beberapa kali menjadi anggota Dewan pers dan mengawal penegakan etika jurnalistik. Tetapi saya baru kemarin bertemu langsung dengan Pemimpin Redaksi Suara Karya yang penampilannya seperti baru berumur 50-an itu. Yakni, dalam Lokakarya Etika Jurnalistik, digelar Dewan Pers dan LPDS di Bandarlampung, 24-26 Mei lalu. Leo hadir sebagai pembicara untuk berbagi pengalaman dan menyuntik moral kami para wartawan daerah. Peserta lokakarya senang mendapat pencerahan dari tokoh pers nasional ini. Caranya menyampaikan materi yang berapi-api mampu membangkitkan semangat, selain membuat tidak mengantuk. Bicaranya memang keras, mirip membentak-bentak. Saya intens mengikuti sepak terjang Leo Batubara ketika ia menjadi saksi ahli dalam kasus Majalah Tempo melawan Tommy Winata, tahun 2004. Lelaki kelahiran Simalungun, 26 Agustus 1939 ini tampil untuk meringankan media yang terselandung “Ada Apa di Tenabang”. Dia menyediakan tubuhnya yang tua untuk diperiksa polisi selama 14 jam demi tidak ada wartawan kena penjara akibat pemberitaan. Majalah Tempo sesungguhnya ingin memberi uang banyak atas kesediaan Leo menjadi saksi ahli itu. Tetapi, lulusan IKIP Jakarta tahun 1970 itu menolak. “Saya melakukan ini bukan demi uang. Melainkan sebagai penghormatan untuk Mochtar Lubis,” kata Leo kepada Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Bambang Harry Murti, waktu itu. Leo sungguh mengagumi Mochtar Lubis, sastrawan dan wartawan yang meninggal 2 Juli 2004. Wartawan anti-rokok itu begitu menghormati Mochtar atas sikapnya yang tak kenal kompromi terhadap ketidakadilan dan kebrengsekan moral penguasa. [caption id="attachment_151906" align="alignright" width="200" caption="Mochtar Lubis. (Sumber: goesprih.blogspot.com)"][/caption] Mochtar memang pahlawan di pentas jurnalistik. Dia mula-mula bergabung di Lembaga Kantor Berita Antara dan menjadi anak buah Adam Malik. Pemilik tubuh jangkung, 183 cm, ini fasih berbahasa Inggris. Maka, dia menjadi penghubung para wartawan asing yang mulai berdatangan ke Jawa untuk meliput Revolusi Indonesia. Pada Desember 1949, Mochtar bersama Hasjim Mahdan mendirikan harian Indonesia Raya. Mochtar menjadi pemimpin redaksi koran yang senang mengkritik Soekarno itu. Akibat ketajamannya, pada tahun 1957 Mochtar dijebloskan ke penjara selama 9 tahun dan Indonesia Raya dibredel. Setelah Soekarno terguling, Mochtar Lubis dibebaskan. Pada tahun 1968 Indonesia Raya diizinkan terbit kembali. Dasar Mochtar Lubis, koran itu lagi-lagi dipakai untuk terus mengkritik pemerintah. Dia melancarkan perang melawan korupsi di Pertamina. Letnan Jenderal Ibnu Soetowo, disorot dengan tajam. Bos Pertamina itu pun mundur dari BUMN tersebut dengan menjadi jutawan. Sikap kerasnya kepada pemerintah itu juga menjengkelkan Soeharto. Pemerintah pun mencari jalan membunuh media-media massa yang dianggap membangkang. Momentum diperoleh pada peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974. Para mahasiswa berunjukrasa menentang kedatangan PM Tanaka dari Jepang. Koran-koran memberitakan Jakarta yang berkobar. Soeharto marah dan memerintahkan membredel sejumlah koran, seperti Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi. Mochtar Lubis kemudian ditahan dua bulan. Kecuali wartawan, Mochtar Lubis juga dikenal sebagai sastrawan. Novelnya antara lain “Harimau, Harimau!”, “Senja di Jakarta”, “Jalan Tak Ada Ujung”, “Berkelana Dalam Rimba”. “Jadi wartawan memang penuh risiko,” kata Leo Batubara. Tetapi, wartawan wajib terus mengontrol kekuasaan. Meskipun karena itu harus hidup susah, bahkan meringkuk di penjara. Leo meminta wartawan senantiasa menghidupkan semangat Mochtar Lubis. “Tetapi untuk menjadi Mochtar Lubis, harus memohon restu mertua,” kata perumus Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) ini. Mochtar, menurut Leo, sudah meminta restu dari keluarga besarnya juga mertuanya mengenai pilihan hidupnya. Maka, ketika ia harus masuk penjara lantaran menjalankan prinsip, keluarga mendukung dia. Catatan: Tulisan saya dedikasikan untuk yang saya kagumi: Mochtar Lubis. Ia teladan mengenai bagaimana seharusnya menjadi wartawan. Sosok langka di tengah keadaan masyarakat yang condong berselingkuh dari profesi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun