Oleh: Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H. dan Firliana Aura Rias.
Dosen Fakultas Hukum Unissula, Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Ilmu Komunikasi, Prodi Sastra Inggris Unissula.
Di Indonesia kasus kekerasan seksual setiap tahun mengalami peningkatan, korbannya bukan hanya dari kalangan dewasa saja sekarang sudah merambah ke remaja, anak-anak bahkan balita. Fenomena kekerasan seksual terhadap anak semakin sering terjadi dan menjadi global hampir di berbagai negara.
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam konteks non-seksual tertentu seperti pemeriksaan medis), melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik (kecuali dalam konteks non-seksual seperti pemeriksaan medis), atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan tersebut tidak hanya dari segi kuantitas atau jumlah kasus yang terjadi, bahkan juga dari kualitas. Dan yang lebih tragis lagi pelakunya adalah kebanyakan dari lingkungan keluarga atau lingkungan sekitar anak itu berada, antara lain di dalam rumahnya sendiri, sekolah, lembaga pendidikan, dan lingkungan sosial anak.
Berdasarkan hukum, "pelecehan seksual anak" merupakan istilah umum yang menggambarkan tindak kriminal dan sipil di mana orang dewasa terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak di bawah umur atau eksploitasi anak di bawah umur untuk tujuan kepuasan seksual.
Peraturan tentang kejahatan pelecehan seksual terhadap anak diatur dalam KUHP, Undang Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disebutkan “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat, martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”dan Undang Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dengan perubahan Undang Undang No. 11 Tahun 2012 yang akan diberlakukan pada 31 Juli 2014. Selain itu, dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.”
Alquran juga melarang pelecehan seksual baik fisik maupun non fisik. Alquran menyebut pelecehan seksual baik fisik maupun non fisik sebagai “ar-rafast” dan “fakhisyah”. Hal ini sebagaimana tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra: 32, Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)
Di dalam ayat ini, Allah SWT melarang seorang hamba melakukan perbuatan mendekati zina. Tindakan mendekati zina ini digambarkan sebagai tindakan: 1) fâhisyah (tabu) dan 2) seburuk-buruknya jalan. Contoh dari perbuatan fâkhisyah (tabu) ini misalnya adalah pandangan yang bernuansa menelanjangi terhadap lawan jenis atau sesama jenisnya, baik sendirian atau di depan umum sehingga berujung pada upaya menghilangkan kehormatan seseorang.
Meski telah diatur sedemikian rupa, kejahatan itu terus terjadi tanpa ada tindakan pencegahan dan penanganan yang berarti dari masyarakat ataupun pemerintah. Pelecehan seksual selain menjadikan anak sebagai korban, di satu sisi secara tidak langsung berpotensi menjadikan anak sebagai pelaku kejahatan yang serupa di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan pelecehan seksual yang dialami anak – anak meninggalkan trauma dan gangguan fisik yang pada akhirnya menimbulkan kecenderungan bagi anak untuk mencontohi tindakan pelaku tersebut.