Mohon tunggu...
Muhammad Firjatullah
Muhammad Firjatullah Mohon Tunggu... Mahasiswa aktif dalam Studi Ilmu Hubungan Internasional angkatan 2025 di Universitas Mulawarman Samarinda

Saya suka menulis hal hal yang menarik menurut saya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kemacetan Samarinda: Ketika kota tumbuh, Jalan tak bertambah

7 Oktober 2025   10:05 Diperbarui: 7 Oktober 2025   10:05 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Samarinda, ibukota Kalimantan Timur, kini terus berbenah. Jalan diperlebar, jembatan baru dibangun, dan berbagai proyek infrastruktur dijalankan demi mempercantik wajah kota yang menjadi penyangga Ibu Kota Negara (IKN). Namun, di balik geliat pembangunan itu, satu masalah justru kian menonjol: kemacetan. Setiap pagi dan sore, jalan utama seperti Ahmad Yani, PM Noor, Juanda, serta kawasan Simpang D.I. Pandjaitan berubah menjadi lautan kendaraan. Ironisnya, pembangunan yang semestinya memperlancar mobilitas justru belum mampu membendung kemacetan yang kian menggerogoti produktivitas warga.


            Data dari Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Samarinda menunjukkan, hingga 2024 jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar mendekati satu juta unit, sementara panjang jalan kota hanya sekitar 881 kilometer. Kepala Bidang Lalu Lintas Dishub Samarinda, Suparno, dalam wawancaranya dengan Tribun Kaltim (2024) menegaskan bahwa "rasio pertumbuhan kendaraan dan panjang jalan di Samarinda sudah tidak seimbang. Jika tidak diimbangi transportasi massal, kemacetan hanya akan makin parah."

            Pernyataan itu menggambarkan kenyataan pahit. Pertumbuhan kendaraan meningkat pesat seiring daya beli masyarakat yang membaik, tetapi infrastruktur jalan tidak berkembang dengan kecepatan yang sama. Akibatnya, ruas-ruas utama kota setiap hari menampung beban lalu lintas jauh di atas kapasitas idealnya. Situasi ini diperburuk oleh minimnya moda transportasi publik yang layak dan efisien.

            Sebagian besar warga Samarinda kini bergantung pada kendaraan pribadi karena layanan angkutan umum seperti angkot sudah semakin jarang beroperasi. Sementara itu, rencana pengembangan sistem transportasi massal seperti bus kota atau Bus Rapid Transit (BRT) masih berjalan lambat. Anggota DPRD Kota Samarinda, Damayanti, bahkan menyoroti hal ini dengan tegas: "Pemerintah terlalu fokus membangun fisik, tapi lupa membangun sistem transportasi publik. Warga jadi tidak punya pilihan selain membawa kendaraan sendiri."

            Kemacetan di Samarinda sejatinya bukan sekadar soal teknis lalu lintas, melainkan juga potret kontradiksi pembangunan kota. Di satu sisi, pemerintah berupaya memperindah infrastruktur demi menyambut investasi dan posisi strategis sebagai penyangga IKN. Namun di sisi lain, ketidakteraturan tata ruang, lemahnya penegakan hukum parkir liar, dan rendahnya kesadaran berlalu lintas warga membuat upaya itu seperti berjalan di tempat.

            Beberapa proyek pembangunan justru memperburuk keadaan. Misalnya, proyek pelebaran jalan dan perbaikan drainase di kawasan Juanda dan PM Noor yang sempat menyebabkan penyempitan ruas dan antrean panjang kendaraan. Proyek semacam itu memang penting, namun tanpa perencanaan rekayasa lalu lintas yang matang, hasilnya justru menambah kemacetan sementara yang berkepanjangan.

            Kawasan perdagangan seperti Pasar Pagi, Gajah Mada, dan Citra Niaga juga menjadi titik krusial. Banyak ruas jalan di kawasan tersebut menyempit karena dijadikan tempat parkir liar. Petugas sebenarnya kerap melakukan penertiban, tetapi efeknya tidak bertahan lama. Menurut Suparno dari Dishub, "Masalah parkir liar ini bukan hanya soal penegakan, tapi juga karena minimnya lahan parkir resmi. Selama tidak ada solusi alternatif, mereka akan terus kembali."

            Lebih jauh, kemacetan ini memiliki dampak sosial yang nyata. Banyak warga mengeluh waktu tempuh yang semakin panjang, keterlambatan bekerja, dan meningkatnya stres akibat perjalanan yang tidak efisien. Aktivitas ekonomi kecil pun ikut terganggu karena distribusi barang tersendat. Kondisi ini menjadi paradoks: Samarinda berusaha tampil sebagai kota maju, namun mobilitas warganya justru tersendat setiap hari.

            Fenomena ini juga menunjukkan adanya ketimpangan pembangunan. Pemerintah begitu fokus membangun gedung, taman kota, dan proyek besar lainnya, namun abai terhadap fondasi sosial berupa manajemen transportasi dan tata kota yang efisien. Pembangunan fisik tidak akan bermakna jika tidak dibarengi dengan perencanaan sosial yang matang.

   
            Kemacetan Samarinda adalah wajah lain dari pembangunan yang timpang. Kota ini tumbuh secara fisik, namun belum matang secara sistem. Jalan baru dan jembatan tidak akan menyelesaikan persoalan jika manajemen mobilitas dan transportasi publik masih diabaikan. Pemerintah perlu berani mengambil langkah strategis: mempercepat pengembangan angkutan massal, menata ulang parkir liar, dan mengendalikan pertumbuhan kendaraan pribadi.

            Kota yang maju bukan hanya diukur dari gedung megah atau panjang jalannya, melainkan dari seberapa lancar dan manusiawi warganya bisa bergerak. Jangan biarkan kemacetan menjadi simbol kegagalan di tengah pembangunan. Samarinda bisa tumbuh besar, tapi harus cerdas, bukan hanya cepat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun