Mohon tunggu...
Firdha Hanan Nifa
Firdha Hanan Nifa Mohon Tunggu... Dosen Institut Pertanian Bogor

Saya memiliki ketertarikan dibidang kesehatan masyarakat veteriner, keamanan pangan, higiene pangan, mikrobiologi, serta parasitologi veteriner.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Antimikroba pada Ternak dan Ancaman Resistensi yang Harus Kita Pahami

5 Juli 2025   05:18 Diperbarui: 5 Juli 2025   05:18 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Di balik kemajuan industri peternakan modern yang telah berhasil menyediakan protein hewani dalam jumlah besar dan harga terjangkau bagi masyarakat, tersembunyi persoalan yang semakin mendapat
sorotan serius di tingkat global: penggunaan antimikroba pada ternak dan dampaknya terhadap resistensi antimikroba. Isu resistensi antimikroba, atau antimicrobial resistance (AMR), bukan hanya persoalan teknis pengobatan hewan, melainkan ancaman lintas sektor yang berdampak pada kesehatan manusia, kesehatan hewan, keamanan pangan, dan keberlanjutan ekosistem. Sebagai
dosen dan praktisi di bidang kesehatan masyarakat veteriner, saya melihat betapa mendesaknya upaya edukasi publik dan kebijakan tegas agar kita tidak terperangkap dalam krisis kesehatan yang lebih luas
di masa depan.

Antimikroba merupakan senyawa yang digunakan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme penyebab penyakit. Dalam peternakan, antimikroba memiliki peran penting:
mengobati infeksi bakteri pada ternak, mencegah penyebaran penyakit menular, bahkan dalam beberapa dekade terakhir dipakai sebagai growth promoter, yaitu zat aditif yang ditambahkan pada pakan untuk mempercepat pertumbuhan hewan dan meningkatkan efisiensi pakan. Pemakaian
antimikroba sebagai pemacu pertumbuhan inilah yang kemudian menjadi salah satu pemicu timbulnya resistensi dalam skala luas. Ketika bakteri terus-menerus terpapar dosis subterapeutik dalam pakan ternak, mereka akan beradaptasi, bermutasi, dan membentuk mekanisme pertahanan yang membuat
antimikroba lama-kelamaan tidak lagi efektif.
Fenomena resistensi ini tidak berhenti di kandang ternak. Bakteri resisten dapat menyebar melalui berbagai jalur: kontaminasi produk pangan asal hewan yang dikonsumsi manusia, kontak langsung antara peternak dan hewan, limbah peternakan yang mencemari tanah dan air, hingga pergerakan
manusia dan barang dalam rantai pasok global. Akibatnya, infeksi bakteri yang dulu mudah diobati menjadi semakin sulit, memakan biaya lebih besar, dan meningkatkan risiko kematian. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut resistensi antimikroba sebagai salah satu ancaman kesehatan terbesar abad ke-21. Diperkirakan, bila tren ini tidak dikendalikan, pada tahun 2050 kematian akibat infeksi bakteri resisten bisa melampaui angka 10 juta jiwa per tahun di seluruh dunia. Dalam konteks kesehatan masyarakat veteriner, penggunaan antimikroba pada ternak harus dilihat
secara komprehensif. Di satu sisi, antimikroba adalah alat penting untuk menjaga kesehatan hewan dan produktivitas peternakan. Di sisi lain, penyalahgunaan dan penggunaan berlebihan memicu seleksi tekanan terhadap mikroba patogen maupun non-patogen, sehingga muncul galur-galur bakteri yang
resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. Sebagai contoh, bakteri Escherichia coli, Salmonella, dan Campylobacter yang resisten banyak ditemukan pada unggas dan babi. Jika bakteri ini mencemari daging atau telur yang tidak diolah dengan baik, manusia bisa tertular, dan infeksi tersebut sering kali
memerlukan pengobatan yang lebih agresif dengan antibiotik lini kedua atau ketiga, yang
ketersediaannya terbatas dan harganya sangat mahal.

Tidak jarang resistensi antimikroba berawal dari ketidaktahuan atau praktik peternakan yang kurang tepat. Banyak peternak kecil yang membeli antibiotik secara bebas tanpa resep dokter hewan, menggunakan dosis tidak sesuai anjuran, atau menghentikan pengobatan sebelum waktunya. Ada pula yang menggunakan antimikroba untuk tujuan pencegahan penyakit secara rutin, meskipun
sebenarnya prinsip pengendalian penyakit harus lebih mengutamakan biosekuriti, manajemen kandang yang baik, vaksinasi, dan nutrisi seimbang. Ketergantungan pada antimikroba seakan menjadi jalan pintas untuk menutupi kelemahan manajemen peternakan. Padahal, praktik semacam ini justru
menempatkan kita dalam lingkaran setan resistensi.

Selain aspek praktik peternakan, resistensi antimikroba juga dipengaruhi oleh lemahnya regulasi dan pengawasan. Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, pengendalian distribusi antimikroba
veteriner masih menghadapi tantangan besar. Meskipun pemerintah sudah menerbitkan kebijakan pelarangan penggunaan antibiotik tertentu sebagai pemacu pertumbuhan, implementasinya di lapangan belum selalu konsisten. Salah satu kendala utama adalah minimnya tenaga pengawas dan sistem pencatatan penggunaan antimikroba yang akurat. Tanpa data yang memadai, upaya mitigasi menjadi sulit diukur keberhasilannya. Sementara itu, permintaan pasar yang tinggi terhadap daging murah tetap menjadi insentif bagi produsen untuk menggunakan antibiotik secara intensif demi meningkatkan produksi dengan biaya serendah mungkin.
Dari perspektif kesehatan masyarakat veteriner, pengendalian resistensi antimikroba harus mengacu pada pendekatan One Health, yang menyatukan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Penggunaan antimikroba pada ternak tidak boleh dipisahkan dari dampaknya terhadap kesehatan masyarakat. Karena itu, strategi pengendalian harus mencakup edukasi peternak, peningkatan kapasitas laboratorium pengujian resistensi, penguatan regulasi distribusi obat, serta promosi praktik
peternakan yang bertanggung jawab. Dalam konteks ini, peran dokter hewan menjadi sangat penting, bukan hanya sebagai pemberi terapi, tetapi juga sebagai konsultan yang mendampingi peternak dalam memilih langkah pencegahan yang tepat dan merumuskan protokol penggunaan antimikroba secara bijak.

Salah satu konsep yang kini banyak diterapkan adalah antimicrobial stewardship, yaitu pengelolaan penggunaan antimikroba secara terencana, terukur, dan bertanggung jawab. Stewardship mengharuskan setiap tindakan pemberian antimikroba disertai indikasi medis yang jelas, dosis dan durasi pengobatan yang tepat, serta pencatatan yang rapi. Pendekatan ini juga mendorong pemantauan resistensi bakteri secara rutin melalui surveilans laboratorium. Data resistensi yang
dikumpulkan akan menjadi dasar untuk meninjau kebijakan dan menyesuaikan panduan penggunaan antimikroba dari waktu ke waktu. Selain itu, upaya pengendalian resistensi perlu memperkuat kesadaran konsumen. Masyarakat berhak tahu bagaimana produk hewani diproduksi, termasuk penggunaan obat-obatan selama pemeliharaan. Labelisasi yang transparan, sertifikasi peternakan sehat, dan promosi pangan asal hewan yang
dihasilkan tanpa residu antibiotik adalah langkah penting untuk mendorong permintaan pasar yang lebih sehat dan berkelanjutan. Ketika konsumen mulai menuntut produk yang aman dan bertanggung jawab, produsen akan lebih termotivasi untuk mengadopsi praktik peternakan yang bijak.

Masalah resistensi antimikroba mungkin tidak langsung tampak menakutkan seperti wabah zoonosis lain, tetapi dampaknya perlahan merusak fondasi pengobatan modern yang kita andalkan. Bayangkan masa depan di mana luka ringan atau infeksi pencernaan sederhana kembali mematikan hanya karena bakteri sudah kebal terhadap semua antibiotik yang tersedia. Kondisi ini bukan lagi fiksi ilmiah;
beberapa rumah sakit di dunia sudah mulai menghadapi bakteri super yang hampir mustahil diobati. Karena itu, tindakan nyata harus dimulai sekarang, dengan kesadaran kolektif dari seluruh pemangku
kepentingan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun