Penulis: Fiqih Akhdiyatu Salam, M.I.Kom
Setiap hari, saya hidup di tengah masyarakat yang saya cintai, dan justru karena cinta itu, saya sering merasa terluka. Luka yang tak berdarah, tapi terasa dalam. Luka melihat kenyataan pahit yang terus terulang dari generasi ke generasi.
Saya menulis bukan karena merasa lebih tahu. Saya menulis karena saya lelah menyaksikan kemunduran yang dianggap wajar. Karena saya sedih melihat begitu banyak orang tua yang kehilangan arah, bukan hanya dalam mendidik anaknya, tapi juga dalam mengelola hidupnya sendiri.
Betapa banyak orang tua yang kasar, berkata-kata kejam pada anak-anak mereka. Anak kecil dianggap pelampiasan emosi, bukan amanah yang perlu disayangi. Banyak pula yang hidup seolah tak ada hari esok, terlena main slot di ponsel, berharap keberuntungan datang entah dari mana, padahal hari demi hari, yang datang justru kemiskinan yang makin menjerat. Judi bukan hanya membunuh harapan, tapi juga menghancurkan masa depan anak-anak mereka secara perlahan dan diam-diam.
Yang lebih menyayat hati: kehidupan masyarakat yang jauh dari kata belajar, apalagi membaca. Budaya membaca buku seolah dianggap milik "orang pintar saja." Sebaliknya, budaya menonton TV berjam-jam masih mengakar kuat, bahkan sejak saya kecil hingga sekarang, tak pernah benar-benar hilang. Ironisnya, pemilik perusahaan TV pun mungkin tak menonton acara mereka sendiri. Justru masyarakat kelas bawah yang menjadi penonton paling setia. Tayangan-tayangan itu tak membangun pikiran, hanya mengisi kekosongan. Mereka menonton, tapi tak bertumbuh.
Lebih parah lagi, ketika datang informasi baru, potongan video TikTok, headline bombastis, berita hoaks tanpa sumber jelas, mereka telan mentah-mentah. Tak ada keinginan untuk mencari tahu, tak ada kesadaran untuk memverifikasi. Bahkan orang dewasa pun kesulitan membedakan mana informasi, mana manipulasi. Kebingungan ini terus diwariskan, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Saya juga melihat anak-anak muda yang sebenarnya masih punya waktu dan tenaga untuk bermimpi, tapi tak punya semangat untuk kuliah, untuk belajar lebih jauh. Bukan hanya karena biaya, tapi karena dari rumah tidak ada dorongan ke arah sana. Seolah cukup tamat SMA, lalu bekerja seadanya, hidup sekadarnya. Tak ada visi. Tak ada cita-cita.
Saya miris. Karena yang bisa menuntut ilmu hanyalah mereka yang punya uang, akses, dan dukungan. Sementara yang miskin? Makin hari makin terbenam. Tidak hanya miskin secara ekonomi, tapi juga miskin wawasan, miskin kesempatan, miskin keberanian untuk bermimpi.
Maka saya menulis. Bukan karena saya hebat. Tapi karena saya tidak mau mati rasa. Saya tidak sanggup menegur satu per satu, tidak semua mau mendengar. Saya hanya berharap, mungkin suatu hari, satu tulisan bisa mengetuk hati. Mungkin bukan sekarang. Tapi kelak, ketika seseorang mulai lelah hidup dalam lingkaran yang sama, ia akan menemukan kata-kata saya.
Saya menulis karena saya masih punya harapan. Bahwa bangsa ini masih bisa sadar, belajar, bangkit. Dan kalaupun tidak banyak yang berubah, saya tahu satu hal: saya tidak tinggal diam.