Mohon tunggu...
Fiqih Akhdiyatu Salam
Fiqih Akhdiyatu Salam Mohon Tunggu... Writer

Nama: Fiqih Akhdiyatu Salam. Latar Pendidikan. Sarjana Ilmu Komunikasi, Jurusan Public Relations, dan Magister Ilmu Komunikasi, Jurusan Corporate Communication. Sebagai penulis, saya memiliki minat yang kuat dalam berbagi ilmu pengetahuan melalui tulisan. Saya telah menulis berbagai tulisan diberbagai media, seputar Ilmu Parenting, Media Massa, Politik, Propaganda, dan Komunikasi yang efektif di kehidupan sehari-hari. Saya ingin berbagi ilmu pengetahuan yang saya miliki dengan masyarakat luas, dan menuliskan yang belum banyak ditulis di platform media lainnya, serta memberikan perspektif berbeda dari yang lain. Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi saya melalui fiqihucil24@gmail.com] atau IG Fiqihakhdiyatusalam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menjelang Hari Pendidikan Nasional: Saatnya Kembali ke Buku, Bukan Sekadar Seremoni

29 April 2025   13:21 Diperbarui: 29 April 2025   13:26 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ki Hajar Dewantara. Sumber foto Pribadi.

Penulis: Fiqih Akhdiyatu Salam, M.I.Kom.

Setiap tahun, awal Mei selalu membawa suasana yang khas di dunia pendidikan kita. Sekolah-sekolah mulai bersiap, mendekorasi lingkungan dengan semangat baru, dan memasang baliho besar bertuliskan Selamat Hari Pendidikan Nasional. Media sosial penuh dengan kutipan bijak Ki Hajar Dewantara, wajah anak-anak berseragam putih merah atau biru muda menghiasi unggahan instansi dan tokoh publik.

Ucapan selamat dan harapan akan masa depan pendidikan yang lebih baik bergema ke mana-mana. Seolah-olah, 2 Mei adalah hari yang penuh janji, hari yang seharusnya menjadi titik balik dari berbagai persoalan yang membelit pendidikan negeri ini. Namun, di tengah semarak itu, izinkan saya mengajukan satu pertanyaan sederhana, tapi penting. "Apa yang benar-benar berubah setelah 2 Mei berlalu?"

1. Pendidikan Bukan Seremoni

Pendidikan bukan sekadar rutinitas tahunan yang dirayakan lewat hafalan nama Ki Hajar Dewantara dan slogan "Tut Wuri Handayani." Lebih dari itu, pendidikan adalah menyala kesadaran, bahwa kita, baik murid, guru, orang tua, maupun pemerintah, masih punya pekerjaan rumah besar, terutama soal literasi.

2. Kondisi Literasi Kita: Masih Darurat

Menurut UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%, artinya, dari 1.000 orang, hanya 1 yang benar-benar berminat membaca (CNBC Indonesia, 2024). Riset World's Most Literate Nations Ranked (2016) menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal literasi. 

Data Badan Pusat Statistik (2024) mencatat bahwa hanya 17,21% orang tua yang membacakan buku cerita kepada anak, dan hanya 11,12% yang menemani anak belajar membaca. Skor PISA 2022 menunjukkan penurunan tajam kemampuan literasi membaca siswa Indonesia dibanding tahun-tahun sebelumnya (OECD, 2022).

Ini bukan hanya persoalan bisa membaca huruf. Literasi hari ini berarti: Kemampuan memahami informasi, berpikir kritis, mengambil keputusan, dan berkontribusi dalam masyarakat yang terus berubah.

3. Antara Buku dan Layar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun