Penulis: Fiqih Akhdiyatu Salam, M.I.Kom.
Setiap tahun, awal Mei selalu membawa suasana yang khas di dunia pendidikan kita. Sekolah-sekolah mulai bersiap, mendekorasi lingkungan dengan semangat baru, dan memasang baliho besar bertuliskan Selamat Hari Pendidikan Nasional. Media sosial penuh dengan kutipan bijak Ki Hajar Dewantara, wajah anak-anak berseragam putih merah atau biru muda menghiasi unggahan instansi dan tokoh publik.
Ucapan selamat dan harapan akan masa depan pendidikan yang lebih baik bergema ke mana-mana. Seolah-olah, 2 Mei adalah hari yang penuh janji, hari yang seharusnya menjadi titik balik dari berbagai persoalan yang membelit pendidikan negeri ini. Namun, di tengah semarak itu, izinkan saya mengajukan satu pertanyaan sederhana, tapi penting. "Apa yang benar-benar berubah setelah 2 Mei berlalu?"
1. Pendidikan Bukan Seremoni
Pendidikan bukan sekadar rutinitas tahunan yang dirayakan lewat hafalan nama Ki Hajar Dewantara dan slogan "Tut Wuri Handayani." Lebih dari itu, pendidikan adalah menyala kesadaran, bahwa kita, baik murid, guru, orang tua, maupun pemerintah, masih punya pekerjaan rumah besar, terutama soal literasi.
2. Kondisi Literasi Kita: Masih Darurat
Menurut UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%, artinya, dari 1.000 orang, hanya 1 yang benar-benar berminat membaca (CNBC Indonesia, 2024). Riset World's Most Literate Nations Ranked (2016) menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal literasi.Â
Data Badan Pusat Statistik (2024) mencatat bahwa hanya 17,21% orang tua yang membacakan buku cerita kepada anak, dan hanya 11,12% yang menemani anak belajar membaca. Skor PISA 2022 menunjukkan penurunan tajam kemampuan literasi membaca siswa Indonesia dibanding tahun-tahun sebelumnya (OECD, 2022).
Ini bukan hanya persoalan bisa membaca huruf. Literasi hari ini berarti: Kemampuan memahami informasi, berpikir kritis, mengambil keputusan, dan berkontribusi dalam masyarakat yang terus berubah.
3. Antara Buku dan Layar