Dalam catatan manuskrip sejarah Kesultanan Gorontalo, terdapat empat periode atau zaman keemasan peradaban Gorontalo yang dikenal dengan istilah "Ilomata Wopato atau Empat Mahakarya". Keempat periode emas tersebut berada pada masa Raja Ilahudu (1385–1427), Sultan Amai (1523–1550), Sultan Eyato (1673-1679), dan Sultan Botutihe (1728–1755).
Kali ini, penulis ingin mengangkat sosok Sultan Eyato sebagai salah satu tokoh penting dalam jejak sejarah Islam Nusantara yang penting untuk dicatat kembali dalam narasi sejarah nasional.
Sultan Eyato: Raja yang menjadi simbol Perlawanan Gorontalo terhadap Kolonialisme
Faktanya, keteladanan Sultan Eyato sebagai pemimpin yang berani melawan kolonialisme Belanda dapat disandingkan dengan tokoh-tokoh besar Nusantara lainnya yang hidup di era yang sama. Ia sejajar dengan besarnya perjuangan Sultan Hasanuddin dari Gowa (berkuasa tahun 1653–1669), Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten (berkuasa tahun 1651–1683), dan Syekh Yusuf al-Makassari (diasingkan ke Ceylon tahun 1683).Â
Para tokoh tersebut dan tentunya Sultan Eyato turut menjadi tahanan Belanda/VOC yang kemudian diasingkan keluar Nusantara, mulai dari Ceylon atau Sri Lanka dan kemudian ke Afrika Selatan karena pengaruhnya dan perlawanannya.
Sultan Eyato atau Ti Tulutani Eyato merupakan seorang Raja yang memimpin Kesultanan Gorontalo dari tahun 1673 hingga 1679. Pada saat itu, Eyaoto bukanlah keturunan bangsawan yang dipersiapkan menjadi penerus tahta Kesultanan Gorontalo.
Eyato mengawali kiprahnya dengan mendalami ilmu agama, hingga menjadikannya seorang khatibi da'a atau Khatib Islam di lingkungan Kesultanan. Dengan dalamnya ilmu agama yang dimilikinya, hingga kepribadiannya yang religius, jujur dan bijaksana, menjadikannya terpilih menjadi Raja di Kesultanan Gorontalo. Kesultanan Gorontalo pada masa itu merupakan pusat perdagangan dan penyebaran Islam yang penting di kawasan Teluk Tomini, semenanjung Utara Sulawesi, dan Indonesia Timur.Â
Di bawah kepemimpinan Sultan Eyato, kerajaan tidak hanya berkembang secara ekonomi, tetapi juga memperkuat identitas budaya dan sistem pemerintahan berbasis nilai-nilai Islam.Â