Mohon tunggu...
Fikri Gali
Fikri Gali Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

Kesadaran manusia tidak lain adalah kesalahan refleksi pada kondisi materiil

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dimensi Interpretative: Klaim Intervensi dalam Pasal 411 ayat (1), Pasal 412 ayat (1) dan Pasal 413 KUHP

2 Januari 2023   19:30 Diperbarui: 3 Januari 2023   00:25 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen by: unsplash.com

Berdasarkan pada problematika yang muncul akibat dari penegesahan RUU KUHP yang dilakukan oleh DPR, terdapat beberapa kontroversi yang terjadi didalam kehidupan masyarakat. Undang-Undang yang disahkan diduga memuat beberapa pasal-pasal yang bermasalah. Salah satunya pada Pasal 411 ayat (1) yang berbunyi "Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II". Pada Pasal 412 ayat (2) yang berbunyi "Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II". Serta pada Pasal 413 yang berbunyi "Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang tersebut merupakan anggota keluarga batihnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Hal ini yang menuai berbagai macam pro dan kontra bagi kalangan masyarakat. 

Sebagian orang menganggap pemerintah cenderung mengakses ranah privasi masyarakat yang tentunya tindakan tersebut bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) UU HAM yang berbunyi "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya". Namun, hal yang paling menarik pada permasalahan tersebut adalah berada pada Pasal 411 ayat (2) yang menyatakan bahwa "Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan: a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan. b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan". Hal ini juga berlaku pada Pasal 412 ayat (2) yang berbunyi "Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan: a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan. Yang mana pengaduan sebagaimana pada ayat (2) tidak belaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30. Pemerintah secara implisit dapat mengakses ranah privat masyarakat, namun Indonesia merupakan negara yang mewajibkan penduduknya untuk memeluk agama dan berkeyakinan. Hal itu telah diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi "Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa" serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama". Kebijakan pemerintah dengan menerapkan Pasal 411 ayat (1), Pasal 412 ayat (1), dan Pasal 413 KUHP terbilang baik. Karena mengingat hal-hal substansial yang berada dalam Pancasila khususnya pada sila-1 "Ketuhanan Yang Maha Esa". Apabila kebijakan pemerintah dalam pasal-pasal tersebut dianggap bermasalah bagi beberapa aktor terhadap stabilitas ekonomi destinasi pariwisata sehingga berdampak pada intensitas pengunjung terutama mancanegara, setidaknya harus mengacu pada Pasal 411 ayat (2), Pasal 412 ayat (2). 

Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumber dari segala sumber hukum. Selain itu, dalam ruang lingkup hukum terdapat asas Lex superior derogate legi inferiori dapat diartikan hukum yang diatas diharuskan mampu mengesampingkan hukum yang berada dibawah. Meskipun Pancasila tidak termasuk dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan Indonesia yang meliputi UUD 1945, TAP MPR, UU/Perppu, PP, Perpres, Perprov, dan Perda hingga mengakibatkan asas tersebut tidak berlaku pada Pancasila, namun nilai-nilai Pancasila seharusnya selalu ditanamkan didalam Peraturan Perundang-Undangan. Sehingga esensi Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dapat diimplementasikan. Lebih dari itu, ketentuan pada Pasal 411 ayat (1), Pasal 412 ayat (1), dan Pasal 413 menjadi suatu hal yang tabu apabila masyarakat umum tidak dapat melakukan delik aduan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 411 ayat (2) dan Pasal 412 ayat (2) sehingga hal tersebut tidak memunculkan law enforcement. Secara umum, masyarakat mempunyai peran atas pengaduan yang seharusnya dapat dilakukan. Karena tindakan-tindakan pelanggaran yang dilakukan berdasarkan pada Pasal 411 ayat (1), Pasal 412 ayat (1), dan Pasal 413 merupakan pelanggaran kompleks yang tidak hanya berlaku bagi pelaku. Namun juga melibatkan masyarakat yang berada disekitar TKP (Tempat Kejadian Perkara). Hal itu tentunya mempunyai korelasi dengan identiras, harkat dan martabat masyarakat.

Dalam filsafat kebudayaan, sebagai suatu hal yang menakar konsep ditunjukan oleh ilmu budaya dalam aspek metafisis pada konteks normative dan nilai trasenden. Realitas sosial memperlihatkan bahwa manusia adalah seorang aktor yang mengoperasionalkan sebuah kebudayaan. Manusia melakukan aktivitas semata-mata untuk mendapatkan esensi kehidupan yang membentuk eksitensinya menjadi nyata. Kesadaran manusia memunculkan kelemahan, sehingga mereka cenderung melakukan suatu hal yang menjadi penutup atas kelemahan tersebut. Oleh sebab itu, terbentuklah skema agama dengan berbagai macam konsep Ketuhanan dan berbagai macam kebudayaannya. Kemampuan manusia dalam mentransformasikan pola berpikir sebagai tindakan yang terorientasi pada nilai-nilai estetik merupakan hakikat dari istilah kebudayaan. Effat al-Syarqawi mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu histories masyarakat yang terdapat kesaksian nilai-nilai normative bangsa.  Kesaksian nilai normative memberi benang merah bagi tujuan ideal serta rohani yang mendalam. Unsur-unsur didalam kebudayaan merupakan suatu struktur yang mempunyai substansi nilai rohani tinggi. Sehingga dapat mempengaruhi pergerakan masyarakat dengan menjadikannya sebagai pedoman hidup, moralitas, estetika dan pandangan yang terorientasi pada sistem nilai.

Bagi Ruht Benedict, kebudayaan dapat dipahami berdasarkan pola pemikiran dan tindakan tertentu yang diaktualisasi pada taraf kehidupan manusia. Akibatnya, kebudayaan identik dengan way of life membentuk sebuah identitas dalam masyarakat. Berbeda dengan Ruht Benedict, Sultan Takdir mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu akal budi. Akal merupakan bagian yang mengangkat aspek keseluruhan dan bersifat universal.  Sultan Takdir menganggap bahwa segala sesuatu yang diciptakan melalui akal pikiran manusia merupakan sebuah hal yang harus dipatuhi. Kepatuhan manusia terhadap hukum yang terbentuk dari akal budi cenderung menciptakan estetika dari rasa kemanusiaan. Namun, kepatuhan manusia terhadap hukum akan memunculkan pertanyaan lebih luas yakni "Apabila manusia diharuskan tunduk kepada aturan, dimana letak kebebasan pribadi masyarakat?" Masyarakat merupakan kelompok individu yang memunculkan kebudayaan, kebudayaan lahir karena adanya tindakan dan kebiasaan yang terjadi didalam kelompok sosial hingga dapat memunculkan sebuah identitas kelompok tertentu. Kebebasan manusia terletak pada kebebasan untuk memilih nilai yang menjadikannya sebagai pedoman untuk berprilaku dan berbuat, hal tersebut tentunya diluar konteks (Baik atau buruk). Nilai-nilai yang disusun secara sistematis baik materill maupun trasenden merupakan orientasi dari kehidupan bermasyarakat. Sehingga hal tersebut dapat memunculkan keharmosian apabila aspek-aspek didalam peraturan mampu diaktualisasikan.

Sebagai satu kesatuan dari ilmu pengetahuan serta keyakinan, kebudayaan memuat pengetahuan secara selektif yang diinterpretasi oleh aktor dalam rangka memahami realitas sosial masyarakat. Sebuah batu yang didesain sedemikian rupa, disatu sisi pemahat melakukan aktivitas dengan membentuk batu berdasarkan prosedur memahat. Disisi lain, pemahat diharuskan mampu menciptakan sebuah batu hingga sesuai dengan apa yang diinginkan. Itulah kebudayaan, kebudayaan menjadikan eksistensinya sebagai acuan dalam kehidupan masyarakat (Kleden, 1987). Pada teori ideasional, kebudayaan dipandang melalui pola-pola fungsional yang dilahirkan untuk menciptakan tindakan (patterns for behavior) bukan sebaliknya atau pola-pola tindakan sebagai pembentuk (pattern of behavior), namun sebagai elemen terbentuk. Verstehen dapat diartikan pada upaya pemahaman mendalam, hal itu memiliki keterkaitan berdasarkan konteks tidakan manusia yang didalamnya terdapat esensi prosedur untuk menciptakan selubung ideologis hingga mampu mentransformasikan kedalam tindakan. Misalnya memahami aktivitas upacara adat, manusia diharuskan mampu menginvasi askes pikiran dan niat yang dilakukan oleh seorang aktor, tidak hanya interpretasi aktor (Malkasian, 2003). Ward Goodenough meyakini bahwa budaya tidak hanya sebagai fenomena materill, namun budaya menjelajah lebih universal terhadap sesuatu yang bersifat subjektif bukan hanya obejektif. Serta acuan-cuan untuk menentukan aspek pembentuk dan yang dibentuk. kebudayaan merupakan sebuah aspek kehidupan, terdiri dari segala sesuatu yang dibentuk, diketahui, dan dipercayai hingga implementasi aktivitas tersebut dapat diterima oleh masyarakat. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun