Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Saatnya Golongan Menengah Atas Move On ke LPG 12 Kg!

21 September 2014   05:02 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:04 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="573" caption="Sejumlah pelajar melewati sebuah SPBE di Jl. Parakan, Pamulang, Tangerang Selatan (dok.pribadi)"][/caption]

Bagi keluarga muda yang baru memiliki satu orang anak seperti keluarga saya, nampaknya gas 3kg bersubsidi adalah pilihan yang rasional. Mengapa? Pertama, saya jarang masak di rumah, maklum-lah kuli yang mencari nafkah dari pagi dan baru pulang sore hari kadang sampe menjelang maghrib. Kedua, karena jarang masak dirumah sehingga lebih sering makan diluar. Ketiga, gas bersubsidi 3kg sangat enteng di bawa kemana-mana sehingga jika kehabisan, cukup ditenteng saja tanpa harus menggunakan kendaraan atau alat bantu untuk mencari isi ulangnya. Dengan alasan tersebut, saya merasa sudah sangat pas sekali dengan gas yang sering disebut sebagai gas melon karena berwarna hijau berbentuk bulat seperti buah melon.

Sehari-hari kebutuhan gas dipergunakan hanya untuk merebus air, merebus mie instan atau spagetti, merebus teh atau kopi, paling banter seminggu sekali masak beberapa makanan dan sayuran terutama pas menjelang tanggal tua hihihi. Dengan kebiasaan kaum urban dengan kepadatan aktivitas di luar rumah tersebut, walhasil gas 3 kg bisa awet sampai dengan 3 pekan. Wajar! Dipakainya juga jarang-jarang.

Dari contoh perilaku keluarga muda dengan anggota keluarga yang masih sedikit cukup menggambakan apa yang menjadi hasil penelitian Nielsen yang menunjukkan bahwa pengguna gas 12kg hanya sekitar 16% saja di perkotaan dan sisanya 4% masyarakat di Pulau Jawa. Jadi tak perlu heran, menurut prediksi kasar saya, jika konsumsi gas 3kg pada masa mendatang bisa jadi akan semakin meningkat dengan adanya bonus demografi penduduk. Akan semakin banyak keluarga muda yang sibuk bekerja, lebih sering makan diluar dan walhasil merasa cukup safe dengan gas 3kg saja.

[caption id="" align="aligncenter" width="315" caption="dok.pertamina"]

dok.pertamina
dok.pertamina
[/caption]

Namun demikian jika di klasifikasikan siapakah sebetulnya yang lebih tepat harus menggunakan elpiji 12kg sudah sangat jelas terlihat dari gambar diatas. Keluarga dengan tingkat pendidikan tinggi antara SMA-S1, memiliki perangkat komputer/laptop, memiliki lemari pendingin, menggunakan air minum isi ulang bermerek merupakan target pasar yang perlu di benahi mentalnya. Mengapa perlu dibenahi mentalnya? Kesadaran masyarakat jelas masih rendah dalam menggunakan gas non subsidi 12kg. Bukan berarti mereka tidak mampu dan tidak mau beralih. Misalnya seperti saya yang lebih memilih gas 3kg dengan alasan praktis dan penggunaan yang jarang, perlu juga di akomodasi. Pasalnya mengangkut gas 12kg pun bukan persoalan yang mudah terutama jika di rumah tidak memiliki gas cadangan.


Contohnya bulan puasa lalu, saya sempat kehabisan gas saat menjelang imsak. Padahal saat itu harus tetap sahur demi menjaga stamina saat berpuasa. Warung depan rumah tutup, akhirnya saya terpaksa mencari ke mini market yang buka 24 jam. Namun hasilnya nihil, gas 3kg maupun gas 12kg habis. Padahal saya sudah mencari hingga ke tiga mini market berbeda. Akhirnya jalan pintasnya adalah mengetuk rumah mertua untuk meminjam gas hanya demi meyiapkan sahur saja. Bayangkan jika dalam kondisi seperti itu saya harus berjibaku menggunakan sepeda motor mencari kesana kemari gas 12 kg? Tentu saya lebih memilih melambaikan tangan keatas tanda menyerah dan butuh pertolongan.

Suka tidak suka, alasan praktis lebih masuk akal untuk dijadikan alasan untuk tidak beralih (bagi saya). Namun, sebetulnya PERTAMINA bisa mensiasati misalnya dengan mengeluarkan varian non-subsidi dengan kapasitas 6 kg misalnya. Dengan begitu, lambat laut konsumen gas 3kg yang sebetulnya mampu dari segi ekonomi akan cenderung memilih gas yang isinya sedikit lebih banyak namun tetap tidak menghilangkan alasan kepraktisan. Dijamin deh, keluarga muda bukan berarti tidak sanggup beralih ke gas 12kg, tapi tau sendiri kan gotong gas 12kg yang masih terisi full dengan yang sudah kosong bobotnya jelas jauuuhhh berbeda. Inilah alasan mengapa kadang saya merasa masih berat untuk beralih ke gas 12 kg. Perkara praktis di zaman instan seperti ini sudah menjadi DEWA yang dijadikan pilihan utama. Ingin simple apalagi murmer, memang sudah karakter manusia (Indonesia). Tapi lambat laun dengan pemahaman dan pendidikan kepada keluarga muda terdidik ini dijamin mereka akan dengan senang hari berpindah ke gas non subsidi.

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="dok.http://faisalbasri01"]

gnp
gnp
[/caption]

Jika dibandingkan dengan negara tetangga pendapatan perkapita nasional Indonesia masih lebih kecil. Artinya harga elpiji rendah memang sudah sesuai dengan daya beli masyarakat. Namun yang menarik justru harga gas di India relatif tidak terlalu tinggi selisihnya dengan harga gas di Indonesia. Tetapi seperti kita ketahui, insentif pendidikan di India lebih besar, bahkan harga buku pun sangat murah. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah meskipun harga gas sedikit lebih mahal, namun alokasi subsidi di poskan pada sektor yang lebih membutuhkan. Seperti kita ketahui saat ini pendidikan di Indonesia terutama pendidikan tingkat tinggi mengalami lonajakan yang gila-gilaan, belum lagi dengan harga bukunya. Oke jika subsidi elpiji bahkan subsidi bbm dikurangi tetapi ada bukti nyata pada sektor lain misalnya kesehatan dan pendidikan yang lebih bisa dirasakan rakyat kecil. Dengan demikian hal tersebut bisa menjadi pembinaan juga bagi rakyat.

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="dok.http://faisalbasri01"]

gni
gni
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun