Rumput liar di halaman samping rumahku benar-benar sudah liar. Ilalang sudah tinggi-tinggi, berbagai jenis rumput lainnya menjalar ke mana-mana. Hmmh.., rumahku jadi kelihatan tak terurus.
Mumpung libur, aku mencoba membersihkan rumput-rumput liar itu. Sambil olah raga. Dengan sabit yang sudah aku asah, aku pun mulai membabat rumput-rumput liar itu.
Tapi tak mudah ternyata. Sangat melelahkan. Baru beberapa ayunan sabit, lenganku sudah terasa pegal-pegal. Punggungku juga mulai ikut-ikutan mengeluh. Huuhh, menyerah juga akhirnya aku.
Tapi dasarnya memang lumayan cerdas, ide cemerlang pun akhirnya muncul di kepalaku. Aku mengumpulkan daun-daunan kering, aku siramkan minyak tanah, lalu aku bakar. Aha, berhasil rupanya. Tak berapa lama, api mulai menjalar dan membakar rumput-rumput liar itu. Hmm... sekolah tinggi, jadi kerja tak perlu terlalu pakai otot, pikirku.
“Aiiiih... Pak Guru. Kenapa dibakar???” teriak Melianus tiba-tiba.
“Ah, biar mati rumputnya. Saya capek babat tadi.”
“Aduh, salah sekali itu, Pak Guru.”
Lalu Melianus berlari ke belakang rumah, mengambil selang, dan, tanpa persetujuanku, menyemprotkan air ke nyala api yang mulai membesar itu. Dalam sekejap, api pun mati.
“Pak Guru, saya kasih tahu ee...dengar baik-baik... Rumput kalo dibakar tra mati, Pak Guru. Dia nanti malah jadi makin subur. Mengerti, Pak Guru?”
“Ah eh, ehm... iya iya.”
“Sudah, biar saya saja yang babat, Pak Guru. Mana sabit?”
[caption id="attachment_98954" align="aligncenter" width="300" caption="a2u116.files.wordpress.com"][/caption]