Kerusuhan di Jakarta ketika demonstrasi massa di Gedung Bawaslu pada 21 - 22 Mei yang memakan enam korban jiwa dan 200-an orang lainnya luka-luka tak hanya menjadi berita utama media-media Indonesia.
Dengan mengutip pernyataan Gubenur DKI, Anies Baswedan yang menyebut jumlah korban meninggal dan luka-luka, beberapa media mainstream Malaysia, seperti Berita Harian, Utusan, dan The Star juga memberitakan kerusuhan Jakarta disertai video yang memaparkan bentrok massa dengan aparat kepolisian.
Enam maut dan 200 lagi cedera dalam ketegangan sivil di ibu kota Indonesia, kata gabenor bandar raya itu, Anies Baswedan, hari ini selepas suruhanjaya pilihan raya mengesahkan Presiden Joko 'Jokowi' Widodo menang pilihan raya bulan lalu. Demikian Berita Harian menulis di paragraf pertama artikel berjudul '6 maut, 200 cedera ketegangan di Jakarta' yang di-publish Rabu (22/5) pukul 12.23 pm waktu Malaysia.
Utusan juga menurunkan berita yang sama pada pukul 12.09 dengan judul 'Enam maut, 200 cedera dalam rusuhan pasca Pilpres' Sementara media berbahasa Inggris The Star mem-publish berita kerusuhan Jakarta lebih awal lagi, yaitu pukul 11.55 waktu Malaysia dengan judul 'Six dead, 200 injured in Jakarta riots'.
Sebagai anak bangsa yang sedang mengais rezeki di negeri tetangga, saya hanya bisa mengikuti perkembangan situasi politik pasca pemilu melalui media. Yang saya bisa hanya berdoa, semoga negeri kita tercinta baik-baik saja. Tenang dan damai tanpa ada huru-hara, tak hanya di ibu kota tapi juga di seluruh wilayah nusantara, dari Aceh hingga Papua.
Sungguh, ketika membaca berita ada kerusuhan hingga  menyebabkan hilangnya nyawa manusia di jalanan, tak hanya kesedihan yang saya rasakan, tapi ada sebuah tanya yang sepertinya akan terus menjadi pertanyaan tanpa pernah ada jawaban.
Untuk apa mereka bertaruh nyawa? Jika protes soal hasil pemilu, bukankah ada jalur konstitusional yang bisa ditempuh tanpa harus membuat rusuh? Jika memperjuangkan keadilan bukankah tidak perlu dengan (membuat) kerusuhan?
Menurut saya pribadi, pemilu hanyalah ajang perebutan kekuasaan (yang konstitusional). Tidak lebih! Oleh karena itu, hal-hal mengenai siapa yang akan sah berkuasa dan lain-lain harus diselesaikan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya tanpa melibatkan rakyat jelata.
Itulah makanya, konstitusi hanya memberi waktu tiga hari untuk segera mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi bagi yang tidak puas hati agar segala sesuatunya dapat segera diakhiri dengan pasti  sehingga situasi tenang kembali setelah hiruk pikuk pemilu yang konon katanya pesta demokrasi tapi penuh dengan caci maki.
Adalah wajar apabila elit politik di sekitar calon presiden berusaha mati-matian untuk meraih (atau mempertahankan) kemenangan karena ada kemungkinan jika calon presiden yang mereka dukung menang, mereka akan ikut menikmati kue kekuasaan.
Akan tetapi bagi rakyat biasa, meskipun berjuang mati-matian, demonstrasi tiada henti, bertaruh nyawa di jalanan, apa yang akan mereka dapatkan? Sepertinya, mereka akan tetap menjadi rakyat biasa yang tak mungkin mendapat pengecualian apabila tarif BBM dan TDL dinaikkan (misalnya). Mereka akan tetap menjadi rakyat biasa yang harus rajin bekerja untuk menghidupi keluarga dan untuk menyekolahkan anak-anaknya.