Beberapa waktu lalu saya menemukan sebuah status di media sosial seorang kawan seperti ini "jika menikah ditujukan untuk memiliki seorang anak, lantas adil kah ini bagi mereka yang telah dinyatakan mandul ? apakah ini artinya yang mandul tidak berhak untuk menikah ? apakah ketika di tengah pernikahan salah satu pasangan ada yang mandul bisa bebas untuk ditinggalkan (atau menikah lagi) dengan dalih tidak bisa memberikan keturunan ?"
Jujur saya cukup terhenyak dengan status tersebut. Di satu sisi saya rasa kebanyakan kita sepakat bahwa dengan menikah kita memang memiliki harapan besar untuk mendapatkan keturunan.Â
Namun disisi lain saya juga tidak menyalahkan ketika seseorang mulai merasa "tidak adil" jika menikah ditujukan hanya untuk memperoleh keturunan.
Tuhan menciptakan manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dan pernikahan merupakan salah satu media ibadah yang (semestinya) menjadi media bersatunya dua insan yang saling menerima segala kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Di samping itu, kita juga tidak pernah tahu ujian apa yang akan Tuhan berikan dalam pernikahan kita.Â
Apakah ujian ekonomi, pasangan yang tidak setia, mertua yang terlalu ikut campur, anak yang susah diatur atau mungkin tidak adanya keturunan. Semua ujian dalam pernikahan tidak bisa kita hindari, namun bisa kita sikapi.Â
Ingat, bahwa setiap pernikahan tidak akan pernah luput dari yang namanya ujian atau permasalahan. Tinggal bagaimana kita bisa menyikapinya, apakah menyerah dengan keadaan dan berakhir perpisahan atau mampu untuk bersikap bijak agar pernikahan tetap bisa langgeng.
Kembali ke topik di atas, lantas apa sebenarnya esensi dari sebuah pernikahan ? apakah memang semata-mata untuk memperoleh keturunan ? menurut UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Â
Sedangkan pemaknaan secara agama Islam, pernikahan merupakan akad atau persetujuan antara calon suami dan calon istri melalui proses ijab qabul untuk bersedia menciptakan rumah tangga yang harmonis, sehidup semati dalam menjalani rumah tangga bersama-sama (Nasruddin, 1976).Â
Dari pengartian pernikahan di atas sebenarnya sudah jelas bahwa menikah bukan semata-mata bertujuan untuk memperoleh keturunan tapi lebih pada bagaimana bersama-sama membentuk rumah tangga yang harmonis sampai maut memisahkan.Â
Artinya disini, setiap calon pasangan suami istri harus sanggup untuk menerima segala kekurangan dan kelebihan pasangan masing-masing, termasuk saat tidak dikaruniai seorang keturunan.
Namun meski demikian, dalam beberapa aturan di ajaran Islam, diperbolehkan bagi suami/ istri untuk melakukan gugatan cerai jika salah satu pasangan dinyatakan mandul.Â