Mohon tunggu...
Aulivia Fi Fairuz Izzylhaq
Aulivia Fi Fairuz Izzylhaq Mohon Tunggu... Universitas Mulawarman

``

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

IKN Datang, Samarinda Tenggelam: Kisah Kota Penyangga yang Menjadi Korban Proyek Negara

26 September 2025   15:58 Diperbarui: 26 September 2025   15:58 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dapatkah kalian bayangkan jika rumah kalian terendam air setinggi pinggang yang bukan disebabkan badai langka, melainkan karena hujan sore biasa? Itulah kenyataan pahit bagi warga Samarinda. Selama bertahun-tahun, banjir di kota ini terus berulang, membuat masyarakat lelah dan putus asa. Banyak yang menyalahkan nasib atau letak kota yang memang rendah, tetapi apakah benar hanya itu alasannya? Sebenarnya, masalah banjir Samarinda adalah gabungan berbahaya dari lahan basah yang dirusak, sungai yang terhambat oleh sampah dan lumpur tambang, serta tata ruang kota yang keliru. Oleh karena itu, mari kita telusuri mengapa upaya penanganan selalu gagal dan apa kaitannya dengan megaproyek ambisius IKN.

Samarinda, Ibu Kota Kalimantan Timur, telah lama akrab dengan banjir. Namun, sejak wilayahnya ditetapkan sebagai daerah penyangga utama proyek ambisius Ibu Kota Nusantara (IKN), tragedi tahunan ini terasa semakin berat dan sulit dihindari. Banyak pihak, terutama warga setempat, menyebutkan satu penyebab utama baru yaitu dampak pembangunan IKN yang menyebar cepat ke wilayah sekitar. Meskipun secara teknis IKN berada di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, pengaruh pembangunannya yang masif telah menciptakan rantai kerusakan yang tak terhindarkan dan ujung-ujungnya bermuara di Samarinda. IKN telah bertindak sebagai pemicu eksternal yang kuat yang memperparah masalah lama, mengubah banjir dari fenomena lokal menjadi krisis regional.

Pokok permasalahan ini terletak pada tekanan pembangunan besar-besaran yang ditimbulkan oleh IKN. Pembangunan ibu kota baru memicu peningkatan kebutuhan bahan baku bangunan, pengembangan jalur transportasi baru, dan kenaikan harga tanah di sekitar Samarinda. Kondisi ini secara cepat mempercepat pembukaan lahan baru dan mengintensifkan aktivitas yang sudah ada di kawasan hulu yang berbatasan langsung dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) menuju Samarinda. Ketika hutan di wilayah penyangga IKN diubah menjadi kawasan industri atau infrastruktur pendukung logistik, fungsi alami tanah untuk menyerap air hujan menjadi hilang. Hilangnya kawasan resapan ini menyebabkan volume air hujan yang langsung mengalir deras ke hilir meningkat drastis. Sebuah studi bahkan menyebutkan bahwa alih fungsi hutan memiliki pengaruh signifikan sebesar 32,4% terhadap seberapa tinggi dan cepat air banjir datang ke kota.

Keterkaitan ini berdampak langsung pada infrastruktur Samarinda yang sudah rapuh. Samarinda berada di hilir, sehingga kerusakan lingkungan yang terjadi di kawasan penyangga IKN yang lebih ke hulu otomatis mempengaruhi kota ini. Aliran air deras dari lahan gundul membawa lumpur dan tanah yang kita kenal sebagai sedimentasi, yang langsung dialirkan ke sungai dan danau penampung air. Hal ini membuat Waduk Benanga, yang seharusnya menahan air kiriman, menanggung beban lumpur yang semakin besar. Kedangkalan ini diperparah oleh erosi lahan di wilayah yang terkena dampak pembangunan IKN, membuat daya tampung waduk tersebut menyusut hampir 70 persen dari kapasitas awalnya. Jumlah lumpur yang menumpuk di dasar waduk diperkirakan mencapai lebih dari 1,6 juta meter kubik. Peningkatan volume air yang sangat cepat dari kawasan penyangga IKN, ditambah dengan pendangkalan sungai akibat lumpur yang menumpuk, membuat sungai utama di Samarinda tidak mampu lagi menampung air, sehingga air meluap dengan cepat ke permukiman warga.

Selain kerusakan fisik, IKN juga menjadi penyebab tidak langsung akibatperubahan prioritas anggaran negara. Proyek IKN menyerap alokasi dana yang sangat besar dari pemerintah pusat, yang secara kebijakan dapat mengalihkan fokus dari masalah penting lainnya. Konsekuensinya, dana dan perhatian yang seharusnya dialokasikan untuk proyek mitigasi banjir yang sudah sangat mendesak di Samarinda, seperti pengerukan total waduk dan normalisasi sungai, justru berkurang atau menjadi tertunda karena semua sumber daya diarahkan ke pembangunan ibu kota baru. Bagi masyarakat, hal ini menciptakan perasaan bahwa kota penyangga yang menopang ibu kota baru justru diabaikan dalam menghadapi bencana yang semakin parah. Sehingga pembangunan IKN telah bertindak sebagai akar masalah yang signifikan, memperburuk ketidakadilan lingkungan dan memperpanjang penderitaan Samarinda dalam menghadapi banjir tahunan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun