Sejak berlakunya Sistem Jaminan Sosial Nasional(SJSN) di awal tahun ini, kunjungan pasien rawat jalan/peserta Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) di RSUD yang ada di wilayah DKI meningkat pesat, boleh dibilang membludak. Kunjungan pasien ini sebelumnya juga sudah ada peningkatan sejak berlakunya Kartu Jakarta Sehat (KJS) di akhir tahun 2012. Sejak pemberlakuan SJSN - sebagai contoh di RSUD Tarakan - kunjungan ke unit rawat jalan lebih dari 1000 orang per hari.
Memang untuk mengantisipasi hal ini RSUD Tarakan sudah membuat pendaftaran online sejak bulan Maret 2014. Saat ini RSUD Tarakan membuka dua loket bagi pasien BPJS yaitu sistem online yang dapat melayani 80 orang, sedangkan yang mengantri di loket manual untuk melayani 600 orang. RSUD Tarakan juga bekerja sama dengan 12 Puskesmas Kecamatan dalam perujukan pasien. Cara ini banyak mengurangi kunjungan pasien rawat jalan hingga 12%, namun demikian kunjungan pasien di unit rawat jalan dengan rujukan Puskesmas tetap saja membludak. Informasi yang penulis dapatkan sejumlah 60% kunjungan pasien rawat jalan bisa ditangani di Puskesmas.
Penyebab membludaknya kunjungan rawat jalan di RSUD antara lain disebabkan   para peserta Badan Pengelola Jaminan Sosial non Penerima Biaya Iuran (BPJS non PBI) yang sering meminta untuk dirujuk ke RSUD dengan alasan yang bermacam-macam, antara lain merasa sudah membayar premi, meminta rujukan karena tidak yakin akan kualitas pelayanan di Puskesmas. Hal ini membuat dokter yang melayani seakan kehilangan otoritas. Kejadian seperti ini membuat pasien-pasien yang seharusnya mendapatkan pelayanan spesialistik di RS menjadi tertunda.
Dengan kejadian di atas - menurut penulis - tidak perlu saling menyalahkan dan merasa benar. Sebaiknya semua pihak yang terlibat duduk bersama untuk mencari solusi yang memenangkan semua pihak. Pihak yang dirugikan sebenarnya adalah masyarakat yang memang benar-benar membutuhkan pelayanan di RS. Dalam hal ini penulis mencoba memberikan solusi kepada semua pihak yang terlibat dalam masalah ini dengan cara membuat sistem dan alur rujukan pasien terpadu ke RS sehingga para peserta BPJS yang PBI maupun non PBI  dapat memahami penyakit-penyakit apa saja yang tidak bisa dirujuk ke RS. Alur rujukan ini juga harus dipahami oleh semua petugas yang ada di Puskesmas dan RS sehingga bila ada pertanyaan dari para peserta, semua petugas dapat menjawab dengan jelas dan para peserta tidak merasa di-ping pong untuk mendapatkan informasi mengenai alur rujukan RS tsb.
Kemudian, membangun kerja sama dengan RS rujukan dalam penatalaksanaan pasien serta meningkatkan kompetensi para dokter di Puskesmas dengan mengadakan pelatihan dan bimbingan secara berkala dari institusi pendidikan setempat, dengan demikian penanganan pasien dapat lebih baik. Sebagai contoh pada kasus pasien krisis hipertensi dengan gejala stroke tentunya harus dilakukan perujukan ke RS, bila pasien sudah stabil maka untuk perawatan rawat jalan dapat dilakukan di Puskesmas saja tidak harus datang ke RS. Sehingga biaya transportasi pasien ke RS bisa diminimalkan dan pasien mendapatkan pelayanan yang prima.
Selain itu, sistem loket online dan manual  yang telah ada dapat lebih dikembangkan sehingga pada akhirnya pasien yang dilayani lewat sistem online lebih banyak dari sistem manual. Yang juga penting adalah sosialisasi alur rujukan terpadu tersebut secara lintas sektoral, yaitu bekerja sama dengan pihak kelurahan dan kecamatan setempat agar masyarakat lebih paham mengenai hal tersebut. Sistem dan alur rujukan yang terpadu ini diharapkan kepada semua pihak terutama para peserta BPJS yang memerlukan rujukan dapat dilayani dengan cepat dan baik, sedangkan peserta BPJS yang dapat dilayani di Puskesmas mendapatkan hasil pengobatan yang baik sama seperti di RS .