Gunung selama ini adalah ruang egaliter tempat semua orang berdiri setara di hadapan alam. Tak peduli apakah ia pendaki pemula atau veteran, kaya atau sederhana, semua mendapat hak yang sama untuk mendirikan tenda, berbagi jalur, dan menikmati keindahan semesta. Namun kini, ruang netral itu mulai tercemar. Fenomena "booking lahan" untuk camping kian marak, dan bersamaan dengannya, nilai solidaritas yang telah lama menjadi jiwa komunitas pendaki, mulai runtuh.
Kasus yang menyeret operator wisata seperti Tiga Dewa Adventure Indonesia menjadi sorotan publik. Tuduhan mereka melakukan pemesanan area camp dan memonopoli tempat strategis menuai kemarahan netizen, meski akhirnya dibantah pihak bersangkutan. Namun yang lebih penting dari siapa yang salah, adalah mengapa praktik ini bisa tumbuh di ruang yang seharusnya steril dari mentalitas eksklusif.
Booking lahan di gunung adalah simbol dari infiltrasi budaya kapitalistik ke jantung aktivitas yang selama ini sarat dengan kebersamaan dan kesederhanaan. Jika di hotel berlaku sistem siapa yang membayar dulu, maka di gunung seharusnya tetap berlaku prinsip siapa yang sampai dulu, dia yang dapat. Perubahan nilai ini mengindikasikan bahwa pendakian mulai menjadi aktivitas yang diprivatisasi, diorganisir untuk kepentingan kelompok tertentu, dan bukan lagi arena pembentukan karakter melalui tantangan alam.
Bahkan lebih dari sekadar etika, praktik ini bisa menimbulkan gesekan sosial di antara para pendaki. Pendaki independen merasa terdiskriminasi ketika area terbaik sudah "dikuasai" oleh grup yang datang belakangan tapi sudah melakukan booking lewat pihak ketiga. Di sinilah letak masalah strukturalnya ketimpangan akses terhadap ruang publik, yang seharusnya menjadi milik bersama.
Pihak pengelola seperti basecamp Gunung Prau dan Taman Nasional Gunung Rinjani sudah mengambil sikap tegas: tidak ada sistem booking lahan di gunung. Namun penolakan ini tak akan cukup jika tidak dibarengi dengan edukasi dan pengawasan yang ketat. Perlu ada sanksi sosial dan administratif terhadap pelaku praktik booking ilegal ini, serta kampanye masif untuk menghidupkan kembali etika pendakian berbasis kebersamaan.
Solidaritas pendaki bukan sekadar basa-basi menyapa saat berpapasan. Ia hidup dalam kesediaan berbagi tempat, membuka ruang untuk siapa saja, dan melawan kecenderungan menjadikan gunung sebagai ruang komersial. Ketika cuan mulai mendikte siapa yang berhak mendirikan tenda, maka gunung telah berubah dari ruang kontemplasi menjadi arena dominasi.
Kita tak bisa membiarkan gunung berubah menjadi "hotel vertikal" dengan sistem reservasi tak resmi. Kita harus bertanya, apa yang kita selamatkan saat mendaki hanya ego kita, atau juga nilai-nilai yang membuat kita layak disebut sebagai manusia pecinta alam?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI