Apa harga seorang rakyat miskin di Republik ini? Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jawabannya adalah Rp17.851 per hari. Ya, itu adalah batas pengeluaran harian yang membuat seseorang resmi menyandang status miskin. Dengan angka itu, mereka bisa beli paling banter enam bungkus mi instan, atau dua liter bensin subsidi yang makin langka di pom bensin.
Kini bandingkan dengan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani menetapkan bahwa biaya konsumsi rapat koordinasi menteri adalah Rp171.000 per orang. Itu belum termasuk fasilitas, gaji, tunjangan, dan segala kemewahan jabatan. Hanya untuk sekali duduk, satu orang pejabat dihargai setara dengan pengeluaran hidup rakyat miskin selama 10 hari.
Logika publik pun harus bertanya, Apakah kalimat "rapat menteri" memang sakral dan suci sampai harus ditaburi nasi kotak mewah bernilai ratusan ribu rupiah? Dan mengapa dalam negeri yang mengaku demokratis, nilai hidup seorang rakyat jelata bahkan tak setara dengan satu kudapan di meja pejabat?
Kita seperti hidup dalam dua republik. Yang pertama, Republik Menteri diselimuti pendingin udara, makan dalam ruang tertutup, dan disajikan konsumsi kelas atas untuk membahas nasib negeri yang bahkan mereka sendiri sudah jauh dari realitasnya. Yang kedua, Republik Rakyat tempat manusia harus menunduk malu di depan etalase makanan cepat saji, karena dompet mereka bahkan tak mampu mengimbangi harga sepotong ayam goreng.
Itulah absurditas negara ini. Yang miskin harus membuktikan dirinya pantas dibantu dengan ribetnya verifikasi bansos. Tapi pejabat? Tak perlu pembuktian. Mereka tinggal duduk dan uang negara akan mengalir menghidupi gaya hidup rapat nan eksklusif.
Bayangkan jika negara ini adalah restoran. Rakyat duduk di lantai belakang, disodori sisa makanan dan air putih, tapi tetap ditagih pajak. Sementara pejabat duduk di meja utama, memesan menu utama yang dibayar dari uang rakyat itu sendiri. Ini bukan sekadar ketimpangan. Ini adalah penghinaan yang dilembagakan.
Apakah ini negara? Atau hanya panggung sandiwara, tempat elite bermain politik, sementara rakyat hanya berfungsi sebagai angka statistik dan perpanjangan tangan suara di bilik suara?
Demokrasi yang sehat, setiap sen yang keluar dari anggaran negara harus ditimbang dengan etika publik. Tapi di negeri ini, logika keadilan seperti telah dikubur. Bahkan, di depan mata rakyat, negara terang-terangan berkata: "Nilaimu tidak lebih dari Rp17.851."
Maka wajar jika publik kini makin apatis, makin sinis. Karena negara sendiri yang mengajari bahwa menjadi pejabat berarti hidup mewah, dan menjadi rakyat berarti menerima kemiskinan sebagai takdir.
Republik ini tidak kekurangan anggaran. Yang kurang adalah rasa malu.
Diskon Tarif Listrik 50%, Batal.