"Sekarang, kepalanya sudah pergi."
Apakah masuk akal jika manusia hidup bahagia tanpa kepala? Sebuah pertanyaan menohok yang tiba-tiba melonjak dari kepala ini ketika membaca sebuah judul novel, Cara Berbahagia Tanpa Kepala (selanjutnya: CBTK). Ini adalah sesuatu yang absurd, yang hidup dalam imajinasi. Tetapi hal ini perlu dan menarik untuk ditelisik lebih jauh.
"Sebentar lagi, Sempati akan memulai hidup tanpa kepalanya. Dia tinggal mengikuti semua petunjuk di kertas. Lima sila tertera jinak beriak. Pasti tak ada hambatan.Â
1. Buka lilitan resleting yang melilit jakun.Â
2. Ceraikan baut dari mur hingga talak delapan.Â
3. Telan dan tahan ludah dalam-dalam.Â
4. Tekan kedua tombol penghambat laju aliran darah secara bersamaan.Â
5. Pegangi kedua kuping, lalu tarik kepala ke atas dengan keras hingga terlepas."Â
Cara yang tidak masuk akal. Apakah ada resleting pada jakun manusia? Apakah ada baut dan mur yang menetap di sana? Yang pasti, tidak! Lalu apa?
Triskaidekaman, setelah berhasil menulis novel debutnya, 'Panduan Matematika Terapan,' mencoba kembali hadir dengan eksperimen-eksperimen mutakhir. Sebuah karya fiksi yang serentak ilmiah, baik novel pertama maupun novel keduanya ini, CBTK. Karya fiksi yang hadir dengan cara yang tak lazim seperti pada karya-karya fiksi lainnya. Mencoba mendobrak zona nyaman karya sastra umumnya. Hadir dengan balutan berbeda, dengan kosa kata baru. Pembaca akan dibuatnya terkejut serentak celetuk, ini novel apa? Ngeri ketika membaca secara keseluruhan.