Mohon tunggu...
Farid Nasution
Farid Nasution Mohon Tunggu... -

Anti-trust/Competition Lawyer

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Perlunya Leniency Program di Indonesia

22 Maret 2012   09:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:37 1038
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak negara telah menerapkan Leniency Program sebagai insentif bagi perusahaan atau individu yang menjadi whistle-blower atas suatu praktik kartel. Insentif itu berupa penghapusan denda seluruhnya atau pengurangan denda secara signifikan.

Melalui program ini, kepercayaan antara sesama anggota kartel akan ditantang. Pihak pertama yang membocorkan adanya praktik kartel pada lembaga persaingan, akan mendapatkan imunitas atau penghapusan denda hingga 100%, sedangkan teman-teman anggota kartel lainnya akan dikenakan denda yang besar. Dengan demikian, lahir destabilisasi dalam setiap perjanjian kartel dan berujung pada penurunan praktik kartel secara signifikan.

Di berbagai negara, penerapan Leniency Program ini terbukti efektif dalam memerangi dan mencegah praktik kartel. Di Indonesia, dengan kewenangan KPPU yang terbatas (tidak dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti), Leniency Program akan sangat membantu proses pembuktian. KPPU akan lebih mudah memperoleh barang bukti karena mendapat bantuan langsung dari pelaku kartel.

Sebagian kalangan meyakini bahwa program yang menghapuskan denda atau memberikan imunitas bagi pelaku pelanggaran hukum tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Sehingga Leniency Program tidak mungkin diberlakukan di Indonesia. Padahal, dalam memutus suatu perkara, hakim-hakim di pengadilan Indonesia selalu mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan dari seorang terdakwa. KPPU sendiri dalam putusannya selalu mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan sebelum menjatuhkan sanksi kepada terlapor.

Leniency Program merupakan perluasan dari hal-hal yang meringankan tersebut namun dilembagakan secara formal. Dengan demikian argumen bahwa Leniency Program tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia adalah keliru, karena pada kenyataannya lembaga peradilan Indonesia sudah memiliki konsepsi mengenai hal-hal yang meringankan.

Desain dari Leniency Program menjadi penting agar program ini tidak disalahgunakan oleh pihak mana pun, baik pelaku usaha maupun KPPU sendiri. Sebagai contoh, di negara lain, Leniency Program tidak berlaku bagi inisiator dari praktik kartel, Leniency Program baru diterima jika informasi yang dipasok oleh pelaku usaha adalah benar, akurat dan lengkap sehingga lembaga persaingan dapat dengan mudah menindaklanjuti penyelidikannya.


Tingkatan keringanan hukuman juga merupakan elemen penting untuk didalami. Sebagai contoh, di Amerika imunitas/penghapusan denda 100% hanya berlaku bagi Leniency Program applicant pertama kali. Sedangkan di Jepang, keringanan denda bisa dinikmati hingga applicant kelima, dengan variasi persentase penghapusan denda.

Karena posisi applicant menentukan berapa besaran keringanan denda yang dapat dinikmatinya, beberapa negara menerapkan "marking system". Artinya siapa pun yang pertama kali membocorkan perilaku kartelnya akan diberi jangka waktu tertentu untuk melengkapi data dan informasi mengenai kartel tersebut. Hal ini dimaksudkan jika tidak lama setelah pembocor pertama melapor kepada lembaga persaingan, ada pembocor berikutnya dengan membawa data yang lebih lengkap. Jika pembocor pertama tadi gagal untuk memberikan data yang lengkap mengenai kartel, maka posisi applicant pertama bisa bergeser kepada pembocor kedua tadi. Dalam hal ini, kelengkapan data dan dokumen (kualitas informasi yang dibocorkan) akan menentukan apakah suatu pelaku usaha dapat memenuhi kualifikasi sebagai applicant pada Leniency Program.

Juga penting untuk diterapkan di Indonesia adalah ruang lingkup dari Leniency Program. Yaitu pasal-pasal mana saja dalam UU No 5 Tahun 1999 yang bisa dterapkan dalam Leniency Program. Persekongkolan tender adalah perkara terbanyak di KPPU dari tahun ke tahun. Meskipun demikian, tidak terlihat timbulnya efek jera dari hukuman-hukuman yang telah diberikan oleh KPPU. Oleh karena itu, penting pelanggaran Pasal 22 UU No 5 Tahun 1999 mengenai persekongkolan tender untuk dimasukkan dalam ruang lingkup Leniency Program, disamping pasal-pasal mengenai larangan kartel. Jika hukuman tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku persekongkolan tender, maka destabilisasi kartel melalui Leniency Program mungkin bisa menekan praktik-praktik persekongkolan tender di kemudian hari.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun