Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri Indonesia per Juni 2019 mengalami kenaikan sebesar 10,1 dibandingkan periode yang sama tahun lalu (Year on Year) menjadi US$ 391,8 milyar atau setara dengan Rp. 5.540 triliun(asumsi kurs BI Â Rp.14.141 per US$)
Peningkatan utang luar negeri ini diakibatkan oleh kepercayaan asing terhadap fundamental ekonomi Indonesia membaik kemudian mendorong mereka untuk membeli surat berharga yang Indonesia miliki di pasar global maupun domestik.
"Kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia semakin meningkat, seiring dengan kenaikan peringkat utang Indonesia oleh Standard & Poor's pada akhir Mei 2019, mendorong pembelian neto Surat Berharga Negara (SBN) domestik dan global," sebut BI Â kemarin (15/0819) seperti yang dikutip dari Investor daily.
Namun demikian, BI memastikan bahwa struktur utang luar negeri Indonesia masih aman dan sangat terkontrol. 87% total utang  luar negeri Indonesia  di dominasi utang jangka panjang.
Pengelolaan utang luar negeri diprioritaskan untuk pembangunan, dengan porsi terbesar diperuntukan bagi sektor produktif yang mendukung dan mendorong pertumbuhan ekonomi serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Yaitu sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (18,9 persen dari total ULN Pemerintah), sektor konstruksi (16,4 persen), sektor jasa pendidikan (15,9 persen), sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (15,2 persen), serta sektor jasa keuangan dan asuransi (14 persen).
Menurut Luki Alfirman, Direktur Jendral Direktorat Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan. Utang pemerintah itu jangan hanya dilihat dari besaran nominal atau persentasenya saja tapi untuk apa utang itu dipergunakan.Â
"Kalau untuk sesuatu yang produktif dan akan membuat kita menjadi lebih maju ya tidak ada yang salah, namun tetap harus hati-hati"ujar Luki, dalam sebuah acara yang saya hadiri Kamis(15/08/19) bertajuk "Yang Muda, Yang Bicara" yang diselenggarakan di Kantor DJPPR Komplek Kemenkeu, Jakarta.
Dalam kesempatan yang sama Luki banyak menyoroti bagaimana pemanfaatan utang pemerintah, yang terkadang melulu diliat sisi negatifnya saja. Berutang dilakukan manakala sisi penerimaan dan pengeluaran tidak seimbang namun banyak kebutuhan yang tidak bisa menunggu karena terkadang apabila kita tunggu, momentum keekonomiannya akan hilang atau paling tidak berkurang.
Satu hal yang pasti pemerintah tidak berhutang untuk kegiatan-kegiatan konsumtif seperti subsidi BBM misalnya " karena itu menjadi tidak fair, kita menikmatinya hari sedangkan yang bayar anak cucu kita melalui pajak yang akan mereka bayarkan nanti"jelasnya.
Sementara kalau kita berhutang untuk sesuatu yang produktif seperti pembangunan infrastruktur misalnya, bukan hanya kita generasi sekarang yang menikmati tapi generasi yang akan datang juga, "fair dong semua pihak menikmati ga hanya sebagian aja seperti subsidi BBM itu kan"tambahnya.