Saya sampai terbengong-bengong ketika dalam satu kesempatan, akhir September 2025 lalu berkunjung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah terbesar di negeri ini, di sekitar kawasan Bantar Gebang, Kabupaten Bekasi.Â
Sepanjang mata memandang hanya sampah... sampah... dan sampah, tumpukannya mungkin setinggi gedung 16 lantai atau kurang lebih 70 meter vertikal, dengan luas sekitar 110 hektar.Â
Timbunan sampah raksasa yang mencapai 55 juta ton itu datang dari berbagai wilayah aglomerasi Jabodetabek dengan volume 8.000 ton per hari.
Jika timbunan sampah tak ditangani dan dikelola dengan baik serta efektif, bisa jadi pada suatu saat akan menjadi "gedung tertinggi" di Indonesia dengan segala dampak lingkungannya, kesehatan, dan bahkan menjadi persoalan pendidikan.Â
Nah, oleh sebab itu lah pemerintah mulai meningkatkan intensitas dan teknis yang mengatur soal pengolahan sampah perkotaan.Â
Salah satunya dengan proyek waste to energy (WtE) melalui pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang aturan pelaksananya berupa Peraturan Presiden telah ditandatangani Presiden Prabowo pada 10 Oktober 2025, pekan lalu.
Era Baru Pengolahan Sampah, Antara Jaminan Investasi dan Kepastian Harga
Langkah maju ini dikukuhkan dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan.Â
Regulasi ini merupakan kunci untuk menarik investor swasta, setelah proyek-proyek PLTSa sebelumnya terhambat oleh masalah finansial dan regulasi.
Inti dari Perpres 109/2025 adalah penetapan harga jual beli listrik (PJBL) yang sangat menguntungkan. PLN diwajibkan membeli listrik dari pengembang (Independent Power Producer / IPP) dengan tarif tetap sebesar US$ 20 sen per kWh untuk semua kapasitas.Â
Tarif ini berlaku selama 30 tahun dan yang paling penting, ditetapkan tanpa negosiasi dan tanpa denda (take-and-pay) jika pasokan daya tidak terpenuhi.Â
Menurut keterangan resmi dari BPI Danantara, skema ini dibuat untuk mengurangi risiko investasi secara drastis, sekaligus mengintegrasikan biaya pengelolaan sampah (tipping fee) ke dalam tarif listrik, yang selisihnya akan ditanggung Pemerintah Pusat melalui kompensasi kepada PLN.