Apabila berkaca pada penyataan mereka dalam acara Rosy di Kompas TVÂ Kamis (22/10/20) semalam yang menghadirkan Bivitri Susanti, Haris Azhar, Mantan Hakim MK Maruarar Siahaan, Profesor tata negara asal Unpad Bandung Prof Panca, Wartawan Tempo, dan Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly.
Pihak Tempo dan para penyeru pembangkangan sipil beralasan, mereka tak yakin dan menyangsikan MK akan mengabulkan judicial review yang mereka ajukan.
Haris Azhar menyebutkan bahwa MK itu sudah dikooptasi oleh penguasa dalam hal ini pemerintah Jokowi, kemudian Tempo menyoroti statistik bahwa selama 40 kali melakukan judicial review tak ada satu pun undang-undang itu dikabulkan untuk dibatalkan.
Bagi saya ini sangat membingungkan tentu saja, bagaimana bisa semua elemen dalam bernegara tak mereka percayai kecuali keyakinan mereka sendiri.
Lantas, bagaimana sih wujud dari pembangkangan sipil ini?
Implementasi dari wajah pembangkangan sipil ini bisa bermacam-macam, mulai dari aksi unjuk rasa yang tanpa henti dilakukan hingga tuntutannya dikabulkan, pemogokan kerja secara massal buruh dan mahasiswa mogok belajar, hingga menolak membayar pajak.
Jika hal itu dilakukan besar kemungkinan mereka yang melakukan pembangkangan sipil ini berhadapan dengan konsekuensi hukum di tempatnya masing-masing.
Katakanlah mereka mogok kerja hingga berbulan-bulan, tentu saja perusahaan tempat mereka bekerja berhak memberhentikannya karena pastinya ada pengikatan hukum dalam kontrak kerja mereka jika mereka dalam jangka waktu tertentu tak masuk kerja.
Demikian juga mahasiswa, bisa saja mereka di DO atau tak lulus karena nilainya tak mencukupi lantaran kehadiran mahasiswa dalam perkuliahan menentukan juga nilai akhir tiap semesternya.
Tak membayar pajak, sangat bisa diseret ke pengadilan pajak, dan dihukum denda hingga kurungan.
Apalagi jika kemudian ada yang menyalah artikan atau sengaja menyalah artikan seruan pembangkangan sipil sehingga menimbulkan kerusuhan, hukum pidana bakal menanti mereka.
Seharusnya organisasi masyarakat sipil yang memiliki tingkat intelektualitas di atas masyarakat kebanyakan ini mendorong untuk menyatakan penolakannya pada UU Ciptaker ini melalui jalur konstitusional bukan malah menyerukan hal-hal yang berpotensi menambah menghancurkan negara ini.