Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kala Hukum Menghajar Telak Si Kecil, Letoy Kalah Berhadapan Penguasa

19 Januari 2020   10:49 Diperbarui: 19 Januari 2020   11:15 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahukan saudara bahwa menurut  Pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-IV secara explisit menyatakan.

"Setiap orang berhak  atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum"

Persamaan di mata hukum adalah salah satu azas terpenting dalam hukum modern. Persamaan di hadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak diartikan secara statis.

Artinya jika ada persamaan dihadapan hukum bagi semua orang  maka harus diimbangi pula dengan persamaan perlakuan bagi semua orang..

Dalam negara hukum seperti Indonesia, negara mengakui dan melindungi hak dan kewajiban hukum setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya, sehingga semua orang memiliki posisi yang sama  untuk diperlakukan di hadapan hukum.

Begitulah idealnya, namun kenyataannya hukum tak berada di ruang hampa yang bebas pengaruh. Termasuk pengaruh dari para pelakunya. 

Aparat hukum dan pihak yang berperkara secara hukum akan sangat berpengaruh terhadap hukum dan proses hukum itu sendiri.

Ketika yang berperkara  orang kecil seperti Kakek Samirin yang belakangan ramai. Kakek berusia 76 di hukum selama 2 bulan 4 hari dengan tuduhan memungut sisa getah karet dari perkebunan karet milik Perusahaan Ban Asal Jepang Bridgestone.

Berapa banyak hingga ia layak masuk penjara? 10 ton atau 10 truk? Kakek asal Nagari Dolok Ulu Kecamatan Tapian Dolok Kabupaten Simalungun Sumatera Utara ini, hanya kedapatan mengambil sisa getah sebesar 1,9 kilogram, jika di konversikan menjadi uang jumlahnya Rp. 17. 480 saja.

Terbelalak mata saya saat membaca berita ini yang banyak dilansir oleh berbagai media. Bagaimana bisa seorang kakek setua itu di masukan penjara hanya gegara hal se-sepele itu.

Dan hebatnya, Jaksa penuntut  bersikeras memasukan sang kakek ke penjara selama masa penahan dalam proses persidangan, dengan alasan takut terdakwa kabur!!!!

Kabur kemana? Usia renta, kemampuan finansial tak ada. Apa karena sang kakek  hanya orang kecil, tak memiliki koneksi, lantas bisa diperlakukan seperti ini dengan mengesampingkan rasa kemanusian dan keadilan.

Mari kita bandingkan dengan kasus lain yang melibatkan orang besar atau kelompok besar yang memiliki dana berlimpah dan koneksi yang panjang mengular bagai ular Anaconda.

Kasus penyuapan salah satu Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU)  yang kini sudah jadi mantan, Wahyu Setiawan.

Seperti yang sudah kita ketahui bersama bagaimana prosesnya, dan siapa yang terlibat dalam kasus suap menyuap urusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR-RI ini.

Ada Partai penguasa yang jargonnya "pembela wong cilik" terlibat di dalamnya, walaupun tak akan pernah ada yang mengakui bahwa itu terjadi atas nama partai.

Yang bersalah selalu oknum, dan malangnya aktor utamanya yang tahu persis bagaimana kasus itu terjadi dari sisi penyuap raib entah kemana.

Ya, katanya Harun Masiku kader PDIP yang dicalonkan dengan sangat-sangat gigih oleh partainya, berada di Singapura.

Saya yakin Harun sudah tak berada di sana, Singapura hanya pintu masuk untuk keluar entah kemana.

Lantas dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sampai saat ini KPK belum berhasil menggeledah ruang Sekretaris Jenderal PDIP di Kantor DPP PDIP.

Alasannya ya simpang siur tak jelas lah pokoknya. Malah dengan kekuatannya sebagai partai penguasa mereka melakukan perlawanan dengan melaporkan berbagai media ke Dewan Pers, karena dianggap memberitakan kasus ini yang menyudutkan "partai wong cilik" ini.

Entah bagaimana akhir kisah cinta ini, ya cinta jabatan maksudnya. Terlihat jelas hukum menjadi lunglai, layu kaya petinju kena tonjok dirahangnya.

Sementara buat kakek Samirin, Hukum berlaku sangat gagah perkasa, ia telak dihajar habis oleh hukum yang seharusnya berlaku sama terhadap siapapun.

Jika kita mengamati kronologis kejadian Kakek Samirin ini, tak ada unsur kesengajaan sebenarnya.

Pada tanggal 17 Juli 2019 lalu, Kakek Samirin selesai menggembala lembu yang memang merupakan pekerjaannya sehari-hari, 

Nah saat jalan pulang dan melewati lokasi tersebut, kakek Samirin mengumpulkan sisa getah rembung/karet yang tersisa. Sisa getah itu, dia masukkan ke kantong kresek.

Di saat yang sama patroli satuan pemgamanan perkebunan tersebut lewat, ditamgkap lah ia, kemudian digeledah dan ditemukanlah kresek berisi getah karet tersebut.

Akhirnya dilaporkan ke kepolisian dan diproses hukum, walau di awal tak ditahan, namun kemudian atas permintaan Jaksa penuntut Kakek Sarimin dtahan di Polsek  Tapian Dolok.

Yah itu lah kenyataan, miris juga melihatnya. Hukum di negara hukum bernama Indonesia ini memang terlihat tak berkeadilan, jauh dari norma-norma kemanusiaan.

Sampai kapan? Lebaran monyet  kali yah..hehehe

Sumber.

https://m.detik.com/news/berita/d-4862699/kakek-samirin-pungut-sisa-getah-karet-rp-17-ribu-dihukum-2-bulan-penjara-adilkah/1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun