Mohon tunggu...
Fernanda Rafifah
Fernanda Rafifah Mohon Tunggu... Architecture Student

Architecture Student - Pembangunan Jaya University

Selanjutnya

Tutup

Nature

Permasalahan Perumahan dan Permukiman di Indonesia Bagaikan Jaring Laba-Laba

17 November 2021   11:15 Diperbarui: 17 November 2021   11:39 8687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perumahan rapat yang ada di Tangerang Selatan, dokpri

Indonesia merupakan negara berkembang yang masih banyak sekali elemen perkotaan yang harus dikembangkan. Salah satunya adalah perumahan dan pemukiman. Perumahan dan pemukiman di Indonesia saat ini menjadi salah satu permasalahan yang sangat mendesak. Permasalahan perumahan dan pemukiman merupakan permasalahan yang parallel, permasalahan yang saling merambat dan terkoneksi satu sama lain. permasalahan kedua disebabkan oleh permasalahan pertama, permasalahan ketiga disebabkan oleh permasalahan kedua, dan seterusnya. Sehingga kita tidak bisa benar – benar memfokuskan diri untuk meninjau satu permasalahan saja, karena satu permasalahan tersebut saling berkaitan dengan permasalahan lain. Dengan adanya tulisan ini diharapkan pembaca dan penulis ini sendiri dapat mengetahui apa saja permasalahan perumahan dan pemukiman yang ada di Indonesia ini. Tidak hanya mengetahui, tetapi juga dapat melakukan aksi terhadap permasalahan tersebut sehingga dapat melakukan perubahan terhadap permasalahan perumahan dan pemukiman di Indonesia.

Menurut Kabul Budi Setyawan selaku Stakeholder and Relationship Department Head BTN, permasalahan yang penting pada sektor perumahan dan permukiman di Indonesia ini adalah daya beli (Fauzian, 2020). Dengan daya beli masyarakat yang rendah, menjadikan perumahan dan permukiman di Indonesia menjadi tidak tertata dengan baik. Sehingga muncul yang namanya rumah – rumah tidak layak huni atau permukiman kumuh. Permukiman kumuh itu sendiri dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pusat, 2011) adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Daya beli masyarakat yang rendah membuat mereka berusaha untuk tetap membuat tempat tinggal meskipun tempat tinggal tersebut tidak layak, baik dari segi bangunannya, fasilitasnya, hingga lingkungannya.

Perumahan rapat yang ada di Tangerang Selatan, dokpri
Perumahan rapat yang ada di Tangerang Selatan, dokpri

Daya beli ini tentu menjadi salah satu permasalahan yang paling penting. Namun sebenarnya permasalahan ini merupakan dampak dari permasalahan lain. Apakah benar daya beli menjadi masalah utama? Apakah memang daya beli masyarakat yang kurang atau memang harga jual rumah di Indonesia ini terlalu tinggi? Jika kita lihat harga pasaran rumah – rumah di kawasan Jakarta Barat, mayoritas sudah melebihi angka Rp. 1.5 M dengan luas tanah yang hanya sekitar 55- 60 meter persegi saja. Meskipun bisa mencicil, tentu hal ini tidak mudah dilakukan oleh masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR. Paling tidak ini bisa dilakukan oleh masyarakat berpenghasilan 10 juta rupiah keatas, bahkan dengan penghasilan 10 juta rupiah itu masih terasa berat untuk dilakukan. Sehingga dapat kita lihat bahwa sebenarnya cukup banyak rumah yang ada di Indonesia ini, namun rumah – rumah tersebut hanyalah housing stock. Housing stock ini merupakan rumah yang sudah berdiri namun tidak ditempati atau kosong (Rinaldi, 2017). Rumah kosong ini dapat terjadi karena 2 hal. Pertama adalah rumah tersebut memang menjadi inverstasi seseorang, atau yang kedua adalah memang rumah tersebut belum terjual karena harganya yang tinggi atau daya beli yang rendah. Namun bukan berarti semua harga rumah berada di atas 1 miliyar rupiah. Masyarakat dapat membeli rumah yang harganya tidak sampai 200 juta rupiah dengan cicilian yang tidak sampai 2 juta per bulan (Dinasty, 2017). Rumah tersebut dapat dijual dengan harga rendah karena dipengaruhi oleh lokasi. Lokasi dari rumah dibawah 200 juta rupiah ini terletak di Maja, yang mana kita tahu Maja merupakan destinasi atau stasiun terakhir dari Commuter Line arah Serpong.

Daya beli dan harga jual ini dipengaruhi dengan kebutuhan masyarakat. Masyarakat bekerja di pusat kota atau di ibukota yaitu Jakarta. Masyarakat akan lebih memilih untuk tinggal di lokasi yang dekat dengan segala hal yang mereka butuhkan sehari – hari. Sehingga banyak masyarakat yang rela untuk lebih baik tinggal di rumah yang tidak layak dari segi ukuran dan kualitas bangunan serta lingkungannya. Meskipun lokasi – lokasi seperti Maja dan pinggiran kota lainnya dalam beberapa tahun ke depan akan berkembang dari segi sarana, prasarana, dan TOD nya, namun masyarakat tetap memikirkan jarak tempuh lokasi tersebut ke pusat kota. Masyarakat tidak ingin menghabiskan waktu 90 menit di dalam kereta atau commuter line untuk bisa sampai ke pusat kota. Sehingga itulah yang membuat harga rumah di Jakarta sangat tinggi, yaitu karena permintaan yang sangat banyak namun lahan yang ada tidak sebanyak permintaan tersebut. Nantinya ketika Jakarta sudah benar – benar tidak dapat menampung perumahan dan permukiman, pinggiran Jakarta seperti Maja dan yang lainnya pun menjadi tujuan akhir masyarakat untuk bertempat tinggal. Dengan begitu, harga rumah di pinggiran kota juga akan terus meningkat sesuai dengan permintaan dan sisa lahan yang ada.

Permasalahan lain yang menjadi isu dari meningkatnya permintaan perumahan dan permukiman di ibukota adalah kependudukan. Meningkatnya penduduk di ibukota melalui urbanisasi menjadikan kota – kota besar di Indonesia terutama di ibukota semakin ramai dan padat (BAPPEDA, 2012). Tidak hanya padat perumahan dan permukiman, tetapi juga fasilitas, sarana dan prasarana perkotaan lainnya. Masyarakat yang melakukan urbanisasi ini pergi dari daerah nya menuju ibukota dengan harapan mendapat kehidupan dan pekerjaan yang lebih baik. Namun pada kenyataannya hidup di ibukota membutuhkan pengeluaran yang lebih banyak dengan hanya mendapatkan pendapatan yang sedikit. Hal ini juga menjadi pemicu terjadinya kepadatan dan timbulnya semakin banyak permukiman kumuh di Jakarta. Masyarakat memang sangat membutuhkan tempat tinggal, namun masyarakat juga terlalu sibuk membangun sehingga lupa untuk menanam. Permasalahan lain yang ada di perumahan dan permukiman di Indonesia ini adalah kurangnya lahan hijau. Seharusnya di setiap rumah yang ada di Indonesia ini dilengkapi dengan lahan hijau. Mungkin ketika awal membangun, lahan hijau itu ada di area rumah, namun seiring berjalannya waktu, kebutuhan akan ruang yang lebih besar semakin meningkat. Sehingga lahan hijau semakin berkurang, padahal lahan hijau ini menjadi salah satu elemen paling dasar dari sebuah permukiman (Nasution, 2019).

Seharusnya permasalahan perumahan dan permukiman yang telah dijelaskan sebelumnya tidak dapat terjadi jika terdapat perencanaan pengembangan perumahan dan permukiman yang jelas dan terarah (BAPPEDA, 2012). Setiap kota dan daerah memiliki peraturannya masing – masing dalam hal membangun dan pengembangan perumahan dan permukiman. Namun banyak juga yang implementasinya masih sangat jauh dari peraturan dan harapan. Jika peraturan yang ada diikuti oleh seluruh masyarakat Indonesia, maka permukiman kumuh yang dijelaskan di Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman itu tidak akan ada. Ketidakteraturan bangunan, kepadatan bangunan, kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat, hal – hal tersebut tidak akan terjadi. Perumahan dan permukiman juga akan menjadi kawasan yang tidak hanya sekedar kawasan untuk bertempat tinggal, tetapi juga kawasan untuk hidup. Akan banyak fasilitas yang masyarakat butuhkan dapat dicapai, seperti fasilitas puskesmas atau bahkan rumah sakit. Kemudian fasilitas sosial seperti RTH yang juga dapat menjadi wadah masyarakat untuk berinteraksi (Nasution, 2019).

Pada Perumahan Kembang Larangan yang berada di Pondok Aren yang merupakan tempat penulis tinggal, ini dapat dibilang sudah cukup baik dan bukan merupakan perumahan dan permukiman kumuh. Jika berkaca pada penjelasan diatas mengenai permasalahan perumahan dan permukiman, perumahan ini sudah memenuhi beberapa persyaratan perumahan dan permukiman. Perumhan Kembang Larangan memiliki fasilitas yang sangat banyak, diantaranya adalah lapangan tennis, lapangan badminton, lapangan basket, masjid, balai warga, lapangan serbaguna dan kelurahan. Seluruh warga di perumahan ini mayoritas saling mengenal satu sama lain, kecuali warga yang baru menempati perumahan ini. Hal tersebut dapat terjadi karena banyak sekali acara – acara dan kegiatan sosial di perumahan ini yang membuat perumahan ini menjadi hidup dan memenuhi elemen permukiman. Namun lama kelamaan sejak 9 tahun lalu saya tinggal di perumahan ini, sekarang semakin banyak lahan kosong yang sudah terbangun rumah di atas nya dengan ukuran yang tidak lebih besar dari setengahnya rumah saya yang total nya 120 meter persegi. Ini menandakan bahwa memang kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal semakin meningkat. Apalagi Tangerang merupakan salah satu kota yang paling dekat dengan pusat kota atau ibukota, sehingga menjadi pilihan masyarakat kelas menengah.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa permasalahan permukiman di Indonesia ini menjadi satu kesatuan yang saling terkait dan merambat. Daya beli masyarakat yang rendah dikarenakan harga jual yang tinggi. Harga jual yang tinggi ini terjadi karena permintaan masyarakat akan kebutuhan tersebut sangat tinggi, namun lahan yang ada sangat sedikit, sehingga muncul semakin banyak perumahan dan permukiman kumuh yang tidak memiliki keteraturan bangunan, mempunyai kerapatan bangunan yang sangat rapat, tidak adanya fasilitas serta sarana dan prasarana yang seharusnya menjadi elemen dasar permukiman. Permasalahan tersebut juga disebabkan karena adanya urbanisasi besar – besaran yang dilakukan oleh masyarakat, khususnya ke ibukota atau kota – kota besar lainnya. Serta hal yang paling penting adalah mindset masyarakat Indonesia terhadap hunian vertikal yang masih belum teredukasi, sehingga masih belum banyak masyarakat yang ingin tinggal di hunian vertikal. Namun semua permasalahan ini seharusnya dapat terselesaikan bila adanya keaktifan serta ketegasan lembaga pemerintahan untuk menegakkan peraturan yang ada, dan juga terdapat peran serta masyarakat yang mendukung lembaga pemerintah untuk bisa mencapai target perumahan dan permukiman yang baik dan memenuhi elemen dasar perumahan permukiman.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun