Mohon tunggu...
Feri Nata
Feri Nata Mohon Tunggu... Guru -

Guru di Sekolah Kristen Calvin, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berkomunikasi itu Tidak Mudah (1)

26 September 2015   18:34 Diperbarui: 28 September 2015   10:06 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau kita membayangkan berkomunikasi hanya sekedar tukar-menukar informasi, tak mengejutkan kita akan kebingungan melihat banyaknya salah paham dalam komunikasi antara dua orang. Tentu saja konflik-konflik karena salah paham banyak yang bisa dihindari jika memang komunikasi hanya sekedar tukar-menukar informasi. Dengan catatan setiap informasi yang diterima oleh lawan bicara benar-benar sejernih yang dimaksudkan oleh yang berbicara. Dalam hal ini kita menganggap sama sekali tidak ada bias di dalamnya. Tentu saja hal ini adalah ideal dalam komunikasi. Nyatanya, hampir seluruh komunikasi itu tidak ideal. That’s the fact.

Lalu, jika komunikasi itu (tidak) mudah, apa sebenarnya yang membuatnya menjadi (tidak) mudah. Komunikasi tidak bekerja seperti mesin, yang jika perbaiki kendala teknisnya, mesin akan bekerja dengan baik. Anyway, penulis sendiri bukan orang yang cukup kompeten untuk menguraikan secara rinci kendala-kendala yang membuat komunikasi menjadi (tidak) mudah. Dalam kesempatan ini, penulis hanya akan membagikan sedikit refleksi pribadi penulis.

Okay, let’s start. Paling tidak, beberapa hal ini yang penulis renungkan sebagai hal-hal yang membuat komunikasi menjadi (tidak) mudah, yaitu prasangka, bias, perbedaan latar belakang, dan ketidaksesuaian emosi. Hmm, tentunya akan lebih jelas kalau penulis uraikan satu per satu.

Prasangka

Tak perlu disangkal lagi, prasangka merupakan biang kerok yang membuat komunikasi itu menjadi (tidak) mudah. Belum berbicara saja kita sudah menafsir lawan berbicara kita. Cara menafsir sangat beragam, maka sangat wajar hasil tafsirannya pun sangat beragam. Prasangka ini hampir tak bisa dihindari, kecuali kita bisa mengistirahatkan pikiran kita sejenak. Dan hampir pasti kita menggunakan prasangka kita ini dalam menafsir kalimat-kalimat yang keluar dari lawan bicara kita.

Hmm, sebelum terlalu jauh, penulis perlu mengingatkan bahwa faktor-faktor yang telah disebutkan di atas bersinergi untuk memperparah rumitnya komunikasi. Prasangka ini membuat bias, perbedaan latar belakang, dan ketidaksesuaian emosi makin menjadi-jadi.

Prasangka sebenarnya tak selalu buruk. “Lebih baik kita tidak berburuk sangka” merupakan kalimat yang sering kita dengar. Atau kita sering menyebutkan prasangka baik dan prasangka buruk. Dalam bahasa Inggris kita sering dengar positive thinking dan negative thinking. Bahkan dalam dunia hukum sendiri ada istilah asas praduga tidak bersalah. Hmm, istilah ini tidak sepenuhnya sama, tetapi kira-kira berbicara tentang prasangka. Pada kesempatan ini, penulis tidak akan membahas mana yang lebih baik di antara positive thinking  dan negative thinking. Namun, kita hanya akan fokus melihat akibat dari prasangka yang buruk bagi lawan bicara kita.

Prasangka buruk atau prasangka jelek terhadap lawan bicara merupakan benteng yang kita bangun atau terbangun dengan sendirinya. Sama seperti benteng kota, “benteng” prasangka ini “melindungi” kita dari kemungkinan kita berteman dengan orang ini. Berteman dalam salah satu aspeknya berarti membuka diri kita yang tidak sempurna untuk diketahui oleh teman kita. Namun, alih-alih fokus pada ketidaksempurnaan diri, prasangka justru menuduh lawan bicara yang tidak sempurna. Hehehe, berkomunikasi itu memang (tidak) mudah.

Kalau kita ingat-ingat bagaimana awalnya kita bisa berteman, kita mungkin akan ingat bahwa berteman melibatkan penghancuran “benteng” prasangka ini. Kalau orang berteman sejak kecil, ketika “benteng” prasangka belum terbentuk, prosesnya menjadi jauh lebih sederhana.

Lalu, bagaimana sebenarnya kiat-kiat menghancurkan benteng “prasangka” ini. Hmm, penulis akan jujur bahwa penulis tidak tahu. Atau paling tidak, penulis tidak tahu dengan pasti. Sejauh yang penulis renungkan, menghancurkan prasangka ini melibatkan interaksi di antara kedua pribadi yang akhirnya menunjukkan apa yang disangkakan di awal ternyata tidak benar.  Namun, hal ini tidak berarti semua prasangka telah hilang. Prasangka kita terhadap orang lain bukan hanya satu “hal”, tapi satu “pribadi”. Prasangka terhadap satu pribadi melibatkan sejumlah aspek dari pribadi tersebut. Misalnya kita berprasangka terhadap seseorang sebagai seorang ekstrimis, pelit, dan malas (Hehehe, tenang saja, ini hanya contoh). Dalam interaksi kita dengan pribadi tersebut, perlahan-lahan misalnya prasangka kita bahwa dia seorang ekstrimis ternyata salah dan akhirnya kita tidak lagi membawa prasangka tersebut dalam interaksi berikutnya. Namun, prasangka bahwa dia pelit dan malas mungkin belum hilang.

Tentunya kita tidak boleh lupa, lawan bicara kita sendiri memilki prasangka terhadap kita, yang tentunya merupakan satu “benteng” tersendiri. Tentunya kita menjadi makin pesimis jika kita melihat adanya prasangka ini. Namun, itulah berteman. Berteman, apalagi bersahabat, berarti membagi hidup. Membagi hidup, sesulit apa pun itu, sangat berharga untuk dijalani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun