Aku tidak memerlukan persetujuan siapapun untuk bahagia dan mengizinkan mereka mengontrol emosiku.
Sejak SD aku sering dijuluki dengan betis pemain bola. Aku mengakui bahwa betisku kelihatan lebih besar dari teman-teman seusiaku.Â
Sering sekali ditanya, "fen kamu suka jalan kaki ya?" lalu ku jawab, "ya" , katanya lagi, "pantesan betismu besar". Bukan sekali atau dua kali, aku menerima pernyataan seperti itu. Belum lagi dengan perkataan teman-temanku yang on point mengatakan "betismu besar sekali".
Mendengar perkataan mereka, tentu saja membuatku kurang percaya diri. Sejak dijuluki dengan betis pemain bola, aku langsung googling "penyebab betis besar".Â
Membaca artikel satu per satu dengan harapan bisa mengecilkan betis ini. Setelah melakukan saran-saran yang terdapat di google ternyata tak ada perubahan signifikan pada betisku. Masih saja tetap besar seperti semula, akhirnya aku ketemu satu artikel bahwa penyebab betis besar  salah satunya faktor genetis.
Langsung ku perhatikan kaki orang-orang di keluargaku dan membandingkannya dengan betis ini. Tetap saja, betis ini lebih besar dari anggota keluargaku lainnya. Aku pun mencoba melakukan treadmill dengan harapan bisa mengecilkan betis. Berangan-angan seperti orang Korea namun, kata temanku treadmill membuat betis menjadi lebih besar. Akhirnya aku berhenti melakukan treadmill dan memutuskan untuk mencari di online shop cream peluntur lemak.
Ku beli dan mengoleskan cream tersebut setiap malam. Paginya ku ambil pita meteran untuk mengukur lingkaran betis. Tidak mengecil sama sekali justru semakin kelihatan lebih besar. Pakai jalan pintas yakni lewat sang Pencipta yang menciptakan betis besar ini.Â
Aku berdoa supaya Tuhan mengecilkan betis ini agar kepercayaan diriku meningkat. Menunggu jawaban doa, aku menutupinya dengan memakai celana longgar dan rok panjang. Betis ini tidak lagi diperhatikan, tapi justru badanku yang dikomentari gemuk.
Semua yang ku lakukan seperti salah dimata orang-orang. Tiada hari tanpa me-mention kekurangan fisik. Betisku yang tidak punya dosa, dianggap sangat buruk dan tidak normal. Pakaianku yang longgar untuk menutupi betis dapat cibiran gendutan.Â
Bodohnya, perkataan mereka membuatku murung di kamar karena tidak percaya diri untuk keluar rumah. Puncaknya, aku merasa jelek sekali dan fokus pada kekuranganku.Â