"stop, berhenti ojo diterusno!"
"mandeg!".
"hei mas, berhenti disitu jangan kau teruskan laju mobilmu".
Gemericik hujan menemani suara teriakan warga yang sedang memportal jalan untuk menghadang kehadiran jenazah sueb. Ia warga asli desa setempat. Rumahnya berada diujung prapatan jalan monginsidi.
Sejumlah keluarga yang turut mengantar jenazah ikut gemetaran. Pasalnya warga yang menghadang dijalan tersebut tak hanya tangan kosong, melainkan ada yang membawa bading, kayu bahkan paving pun dibawa. Sedapatnya apa yang dijalan mereka gunakan untuk senjata jika keluarga sueb nekat menguburkan di makam desa setempat.
Agung si anak sulung yang kebetulan duduk disamping supir ambulance matanya terlihat memerah. Takut mengambil sikap campur bingung. Tak ayal memang, kebingungan agung menjadi-jadi karena ibu nya menangis dibarengi pingsan.
"buk, bangun buk!"
"ibuk, bangun ibuk!"
"mas ibuk mas, gimana ini?"
Teriakan adiknya membuyarkan lamunan agung yang dari tadi melihat warga yang tak sedikitpun ada niat untuk membuka portal.
"tri, telfon mbak mu, dia sampai mana?", pinta agung yang tidak jadi membuka kunci jendela mobil yang hampir saja ia turun.