Bermain, bagi banyak orang dewasa, seringkali hanya dipandang sebagai jeda sesaat, aktivitas sekunder, atau sekadar pengisi waktu luang. Paradigma ini wajib diubah total. Bagi anak-anak, bermain adalah salah satu aspek krusial dalam tugas perkembangan; perannya setara pentingnya dengan gizi, pendidikan, dan perlindungan.
Penegasan ini bukan sekadar klaim aktivis, melainkan landasan yuridis yang kuat. Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 Pasal 56 secara eksplisit menegaskan hak bermain, sejalan dengan Pasal 31 Konvensi Hak Anak (UNCRC). Dengan kata lain, pemerintah dan masyarakat memiliki kewajiban konstitusional untuk menyediakan wadah agar hak ini terpenuhi.
Ironi Perkotaan: Bermain di Bantaran Kali dan Kuburan
Mengapa ruang bermain fisik begitu mendesak? Pemerhati ruang bermain ramah anak, JF Bobby Saragih, berpendapat bahwa bermain adalah medium utama bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungan, membangun kemampuan sosial, merangsang kreativitas, serta mengembangkan regulasi emosi dan kontrol diri. Dalam esai di Kompasiana, ditekankan bahwa bermain merupakan metode terbaik untuk belajar dan tumbuh, sekaligus mengasah keterampilan motorik dan pemecahan masalah adalah suatu keharusan demi menjaga keseimbangan naluriah anak.
Namun, tuntutan ruang bermain ini berbenturan dengan realitas pembangunan yang kejam. Di kota-kota besar Indonesia, percepatan pembangunan perumahan dan alih fungsi lahan telah menyingkirkan ruang terbuka hijau (RTH).
Laporan-laporan di Kompasiana secara mengerikan menyoroti dampak dari krisis ruang publik ini. Dalam artikel "Minimnya Ruang Bermain Anak di Jakarta", penulis Rangga Sugeri mencatat bahwa anak-anak seringkali terpaksa bermain di pinggir jalan, gang sempit, bantaran kali Krukut di Jakarta Pusat, bahkan sampai lahan kuburan pun tak luput dari tempat untuk bermain mereka. Sementara Jujun Junaedi dalam artikel "Di Mana Lagi Anak-Anak Bermain?" melaporkan anak-anak di Kota Bandung bermain bola di jalan pemukiman warga karena ruang bermain makin terbatas.
Ironi ini melahirkan fenomena unik yang dikaji oleh Prof. Dr. Ir. John Fredy Bobby Saragih, M.Si dalam penelitiannya tentang Sensatopia (ruang bermain metafisik). Konsep ini merujuk pada kegembiraan yang didapat anak-anak dari tempat-tempat yang tidak seharusnya menjadi ruang bermain, seperti jalan, selokan, rel kereta api, sawah, hingga taman pemakaman umum. Ini adalah cerminan ironis dari kemampuan adaptasi anak yang menunjukkan kegagalan struktural negara dalam menjamin ruang aman.
Inovasi Responsif: RPTRA dan Fasilitas Humanis
Di tengah tantangan implementasi kebijakan (seperti keterbatasan anggaran dan komitmen daerah yang belum merata), telah muncul inisiatif positif yang layak diapresiasi.
Di Jakarta, program Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) telah menjadi solusi krusial di tengah pemukiman padat. Artikel "RPTRA Tidak Hanya Menjadi Wadah bagi Anak-Anak tapi Juga Masyarakat" mengulas bagaimana RPTRA tidak hanya menyediakan fasilitas bermain, tetapi juga dilengkapi fasilitas komunitas (perpustakaan, ruang laktasi), menjadikannya pusat interaksi sosial terpadu.
Komitmen pada hak anak bahkan menjangkau ranah yang paling tak terduga: lembaga pemasyarakatan. Rutan Temanggung dan Lapas Kelas III Wahai menyediakan Taman Bermain Anak di area kunjungan. Inisiatif ini bersifat humanis, bertujuan mengurangi kejenuhan dan memberikan pengalaman positif bagi anak-anak yang berkunjung.
Selain itu, mulai ada integrasi ruang bermain di lokasi strategis. Â Artikel "Kehadiran Tempat Bermain Anak-anak sebagai Sarana Kelengkapan Pasar" Â menyebutkan contoh pasar modern yang menyediakan ruang bermain yang aman, memungkinkan orang tua berbelanja dengan leluasa. Bahkan di kawasan umum seperti ruang tunggu Bandara Radin Inten 2 Lampung juga mulai menyediakan arena bermain, menegaskan bahwa hak bermain adalah kebutuhan universal di setiap ruang publik.
Tuntutan: Kualitas, Pemerataan, dan SNI